PENENTUAN HILAL DENGAN RU’YAH DAN HISAB

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

PENENTUAN HILAL DENGAN RU’YAH DAN HISAB

Penulis : Yusuf KS

Ada beberapa istilah yang sering disebutkan ketika menjelang datangnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu istilah ru’yah dan hisab. Memang banyak yang menyebutkan istilah tersebut, tetapi tidak banyak yang menjelaskan seluk beluk istilah tersebut, padahal masih banyak umat Islam yang belum mengetahuinya.

Tulisan ini membahas beberapa hal yang berkaitan dengan ru’yah dan hisab. Tujuan dibuatnya tulisan ini adalah semoga dapat menjadi satu dari banyak sumber referensi dalam memahami penentuan Hilal, sehingga semakin banyak umat Islam yang lebih memahami tentang ru’yah dan hisab. Sama halnya dengan produk-produk buatan manusia yang tidak sempurna, tulisan ini juga masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik, komentar, dan saran dari para pembaca untuk penulis sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua.

K. Beberapa istilah yang berkaitan dengan penentuan Hilal serta pengertian dan penjelasannya

Beberapa istilah yang akan dibahas pada bab ini adalah Hilal, mathla, ru’yah, ijtima`, hisab, falak, dan irtifa`. Berikut ini rinciannya :

K.1. Hilal (هلال) = Awal Bulan

Bulan yang mengitari Bumi memiliki fase tersendiri dalam setiap putarannya selama 29-30 hari/bulan. Setiap fase memiliki tanda/bentuk tersendiri, seperti bulan baru, bulan sabit, setengah purnama, 3/4 purnama, purnama, bulan tua, bulan mati. Hilal termasuk suatu fase awal bulan yang dapat dilihat oleh seseorang, secara singkatnya Hilal adalah bulan sabit –yang pertama–. Pengertian secara lebih detilnya, Hilal adalah “bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam1”. Waktu Hilal muncul dan terlihat berkisar antara 10-40 menit2, setelah itu bulan terbenam.

Hilal ini ada pada setiap bulan Qamariyah3, jadi istilah Hilal tidak hanya dipakai ketika bulan Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah saja. Bila Hilal terlihat, maka sejak malam itulah awal bulan (tanggal 1) dari suatu bulan Qamariyah bermulai. (Contoh : jika Hilal terlihat pada saat setelah maghrib pada hari Kamis, maka malam Jum`at dan hari Jum`at adalah tanggal 1). Dan karena itulah awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib atau sejak matahari terbenam4, bukan dari jam 00.00 seperti dalam perhitungan kalender Masehi. Istilah seperti malam Ahad, malam Senin, malam Selasa dan seterusnya sudah familiar di masyarakat kita (walau sebagian orang menyebut Ahad malam, Senin malam, Selasa malam dan seterusnya), dan secara tidak langsung, sadar atau tidak sadar, itu merupakan penerapan hari pada kalender Hijriyah, walaupun masyarakat kita banyak yang belum terbiasa dengan penggunaaan kalender Hijriyah secara sepenuhnya.

Secara umum Hilal memang identik dengan bulan sabit yang merupakan satu dari beberapa fase bulan, tapi jika dibahas lebih detil maka ada beberapa perbedaan, hal ini dikarenakan bulan sabit terdiri dari dua jenis yaitu :

  1. Bulan sabit awal (waxing crescent).

    Fase bulan ini dapat dilihat pada beberapa malam awal di suatu bulan Qamariyah, tapi yang dimaksud sebagai Hilal dalam konteks penentuan awal bulan Qamariyah adalah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk Barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam. Dari sisi bentuk, fase ini berbentuk seperti huruf “C yang terbalik” atau “C yang diputar 180 derajat”, sedangkan bulan sabit yang pertama yang dapat dilihat juga berbentuk sama seperti itu (walau terkadang terlihat seperti bentuk huruf “C yang diputar 270 derajat” yang juga mirip-mirip dengan huruf “U”) yang cahayanya masih sangat tipis dan belum terlalu terang (hanya sekitar 1% dari cahaya saat fase purnama), warnanya kuning keputihan atau kuning keemasan. Pada bulan sabit selanjutnya (yaitu mulai hari ke-2 suatu bulan Qamariyah) cahayanya akan semakin terang dan irtifa`-nya juga akan semakin naik/tinggi.

  2. Bulan sabit akhir (waning crescent)

    Fase ini disebut juga bulan tua, Hilal akhir, atau Hilal ats-Tsani. Bulan sabit ini bukanlah Hilal yang dimaksud sebagai Hilal dalam penentuan awal bulan Qamariyah. Dari sisi bentuk, bulan tua berbentuk seperti huruf “C” (walau terkadang terlihat seperti bentuk huruf “C yang diputar 270 derajat” yang juga mirip-mirip dengan huruf “U”).

    Berbeda dengan bulan sabit awal, bulan tua ini sudah dapat teramati/terlihat di ufuk Timur sebelum shubuh / matahari terbit pada beberapa hari terakhir pada suatu bulan Qamariyah. Ketika matahari terbit dan langit semakin cerah, bulan tua perlahan-lahan memudar hingga akhirnya cahaya matahari menghilangkan bulan tua dari pandangan manusia, meskipun sebenarnya Hilal tua masih ada di langit. Bulan tua terbenam beberapa jam atau beberapa saat sebelum matahari terbenam di ufuk Barat, dan hal ini dapat mengecoh orang yang kurang paham tentang Hilal sehingga dapat mengira bulan tua yang terlihat di akhir bulan sebagai bulan sabit awal (Hilal).

Sebagian orang berpendapat bahwa Hilal itu harus dapat terlihat mata, jika itu tidak dapat dilihat maka itu bukan Hilal namanya. Tapi sebagian yang lain (orang-orang yang menggunakan hisab dalam menentukan kalender Hijriyah) berpendapat dengan pendapat yang berbeda, yaitu Hilal terbagi menjadi 3 jenis5 :

  1. Hilal telah wujud (ada), tapi tidak mungkin dapat dilihat dengan mata

  2. Hilal telah wujud, dan dapat dilihat dengan mata

  3. Hilal telah wujud, dan ada kemungkinan dapat dilihat dengan mata

Hilal telah wujud dipahami dengan beberapa pemahaman yang berbeda oleh ahli hisab, yaitu :

  1. Hilal telah wujud ketika terjadi ijtima`

    Dari pemahaman ini metode hisab ijtima` muncul.

  2. Hilal telah wujud pada saat matahari terbenam

    Dari pemahaman ini metode hisab wujudul Hilal muncul.

  3. Hilal mungkin terlihat pada kondisi normal

    Dari pemahaman ini metode hisab imkanur ru’yah muncul.

K.2. Mathla` (مطلع) = Tempat muncul/terbit benda angkasa

Dalam konteks bulan Qamariyah atau dalam konteks penentuan Hilal yang dimaksud dengan mathla` (dapat pula dibaca mathli`) adalah tempat muncul/terbit bulan (Hilal).

K.3. Ru’yah (رؤْية) = Penglihatan

Dalam konteks bulan Qamariyah atau dalam konteks penentuan Hilal yang dimaksud dengan ru’yah adalah ru’yah Hilal yaitu melihat Hilal dengan cara melihatnya dengan mata langsung atau melalui alat bantu (kamera, teropong, teleskop, binokuler, theodolite, dan alat-alat lainnya)6. Ru’yah dapat pula ditransliterasikan dengan kata “ru’yat”. Dan kegiatan melihat Hilal ini dikenal juga dengan istilah ru’yah Hilal bil fi`li.

Catatan : Harap bedakan antara ru’yah (رؤْية) dengan Ruqyah (رقية ) dan ru’yaa (رؤْيا) . Ruqyah secara bahasa adalah jampi-jampi/ucapan/mantra. Ruqyah terbagi menjadi dua, Ruqyah syar`iyyah (ruqyah yang sesuai syari`at Islam) dan ruqyah yang bukan syar`i (ruqyah yang tidak sesuai dengan syari`at Islam). Sedangkan ru’yaa adalah mimpi (lebih khusus mimpi yang baik). Pembahasan ruqyah dan ru’yaa yang lebih detil sebaiknya dijelaskan secara terpisah dari pembahasan ini (ru’yah).

K.4. Ijtima` (إجتماع) = Pertemuan (Konjungsi astronomis)

Yaitu bertemunya posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar (bertemu pada bujur eliptik yang sama/ segarisnya bulan dan matahari). Pengertian dari sisi fase bulan : ijtima` adalah bulan baru, dan dapat disebut juga bulan mati. Disebut demikian karena pada saat ijtima` bulan lalu telah berakhir dan bulan baru telah muncul/dimulai.

Pada waktu tertentu, pada saat terjadi ijtima` ditandai dengan gerhana matahari, sehingga dapat dikatakan gerhana matahari (yang pada saat itu posisi bulan dan matahari bertemu pada bujur eliptik dan lintang eliptik yang sama) adalah ijtima` yang dapat terlihat/teramati. Periode dari satu ijtima` ke ijtima` berikutnya disebut sebagai periode ‘sinodis bulan’ yang lamanya 29 hari 12 jam, 44 menit 2.8 detik atau 29.53059 hari. Sehingga sangat beralasan secara ilmiah jika dalam satu bulan Qamariyah lama harinya adalah 29 atau 30 hari.

K.5. Hisab (حساب) = Perhitungan

Dalam konteks bulan/tahun/kalender Hijriyah yang dimaksud dengan hisab adalah suatu metode perhitungan untuk menentukan tanggalan (termasuk awal dan akhir bulan Qamariyah) kalender Hijriyah, entah secara perhitungan matematis maupun perhitungan secara ilmu falak/astronomi. Perhitungan dalam penentuan Hilal atau dalam pembuatan kalender Hijriyah dikenal juga dengan istilah hisab taqwim.

K.6. Falak (فلك) = Lintasan atau orbit (garis/tempat perjalanan/peredaran benda-benda langit)

Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tempat peredaran benda-benda langit, termasuk menghitung posisi benda-benda langit tersebut, terutama posisi bulan dan matahari dilihat dari sisi pengamat di bumi. Ilmu falak yang lebih mengkhususkan untuk mengkaji/menghitung/menentukan Hilal, gerhana, waktu shalat, dan arah kiblat disebut sebagai ilmu falak syar`i atau ilmu falak ibadah. Terdapat perbedaaan antara ilmu falak dengan dengan astronomi, yaitu astronomi lebih umum dalam mempelajari tentang benda-benda langit, tidak hanya lintasannya saja.

Persamaan ilmu falak untuk mengkaji/menghitung/menentukan Hilal/kalender Hijriyah, waktu shalat, dan gerhana adalah sama-sama mengkaji/menghitung posisi benda langit. Sedangkan perbedaannya adalah Hilal/kalender Hijriyah yang dihitung adalah posisi bulan; waktu shalat yang dihitung adalah posisi matahari; sedangkan gerhana yang dihitung adalah posisi bulan dan matahari.

K.7. Irtifa` (إرتفاع) = ketinggian

Dari sisi penentuan Hilal yang dimaksud irtifa` adalah ketinggian Hilal (sudut elevasi Hilal) di atas ufuk.

L. Cara Menentukan Hilal

Pada bab ini akan dibahas tentang beberapa cara menentukan Hilal, yang pembahasan cara tersebut akan dibahas cukup detil pada sub bab ini. Ada beberapa cara dalam menentukan Hilal, berikut ini beberapa caranya :

  1. Ru’yah

  2. Ru’yah Hilal dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib) suatu bulan Qamariyah.

  3. Ikmal (إكمال = penyempurnaan)

    Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru’yah, maka bulan Qamariyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari. Cara ini dikenal juga dan dapat pula disebut dengan istilah istikmal (إستكمل).

  4. Hisab

  5. Ahli hisab membuat suatu metode perhitungan sehingga terbuatlah suatu jadwal/kalender Hijriyah dalam setiap bulan/tahunnya.

Ru’yah dan Ikmal merupakan istilah yang berhubungan, karena jika ru’yah tidak dapat dilakukan maka ikmal 30 hari akan dilakukan. Dengan alasan itu maka wajar saja jika seolah-olah hanya ada dua cara menentukan Hilal, yaitu ru’yah dan hisab7.

L.1. Ru’yah

Ru’yah Hilal dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib) suatu bulan Qamariyah. Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru’yah Hilal, maka bulan Qamariyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari.

Pada zaman Rasulullah, orang-orang (para shahabat) berusaha bersama-sama untuk melihat Hilal, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar Radiyallahu Anhuma ketika dia dan para shahabat Rasulullah lainnya berusaha untuk melihat Hilal Ramadhan :

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Ibnu Umar berkata, “Orang-orang berusaha melihat Hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum karena hal itu, dan beliau memerintahkan orang-orang untuk shaum.” <<< Hadits Riwayat Abu Dawud nomor : 1995 (MSV2) >>>.

Berdasarkan atsar tersebut, umat Islam sebaiknya dapat lebih memperhatikan tentang ru’yah Hilal ini sehingga sebagian kaum Muslimin dapat meluangkan waktunya untuk berusaha melihat Hilal pada akhir bulan, terutama pada 3 bulan penting. Dengan begitu, umat Islam akan semakin banyak yang mengetahui dan memahami tentang ru’yah Hilal, bagaimana bentuk Hilal dalam praktek, susah atau mudahnya dalam melihat Hilal, dan sebagainya. Walaupun pada zaman sekarang ini perkembangan hisab, terutama hisab astronomi, sudah sangat maju, tradisi para shahabat dalam berusaha melihat Hilal pada akhir bulan tetap dapat dipraktekkan dan dibiasakan kembali pada zaman ini, entah dipraktekkan oleh pengguna ru’yah murni maupun dipraktekkan oleh pengguna ru’yah dengan memakai bantuan hisab (ru’yah tergantung/ terpandu dengan hisab).

Dari sisi penerapan ru’yah Hilal, ru’yah dapat dibagi menjadi dua bagian :

  1. Ru’yah murni

    Orang yang memakai ru’yah murni ini sama sekali tidak memakai hisab untuk melihat Hilal. Jika suatu Hilal dapat terlihat menurut pengguna ru’yah murni sedangkan menurut pengguna hisab astronomi Hilal tidak mungkin dapat terlihat, maka pengguna ru’yah murni akan tetap menyatakan Hilal telah terlihat dan menolak pernyataan pengguna hisab astronomi. Di antara alasan mereka adalah : ru’yah Hilal adalah sunnah, ru’yah Hilal adalah ibadah, bahkan ada sebagian dari mereka yang sampai berpendapat bahwa hisab adalah bid`ah sehingga sangat alergi dan benci dengan penggunaan hisab, terutama hisab untuk penentuan Hilal.

  2. Ru’yah dengan memakai bantuan hisab (ru’yah tergantung/terpandu dengan hisab).

    Orang yang memakai penerapan ini tetap berpendapat bahwa ru’yah Hilal adalah cara terbaik dalam menentukan Hilal, tetapi mereka tidak menolak penggunaan hisab, mereka tetap memakai hisab sebagai alat bantu/panduan dalam menentukan Hilal. Hasil hisab dalam penentuan Hilal dibuktikan kebenarannya dengan ru’yah Hilal dalam praktek. Hasil ru’yah dalam praktek dibuktikan kebenarannya dengan hisab astronomi. Jika dalam praktek ru’yah Hilal suatu bulan Qamariyah dapat terlihat oleh pengamat Hilal tapi menurut ahli hisab astronomi bahwa itu tidak mungkin Hilal (Hilal tidak mungkin terlihat pada saat itu) berdasarkan kriteria hisab yang dipakai, maka kesaksian pengamat Hilal tersebut dapat ditolak dan tidak dipakai.

Dalam praktek ru’yah Hilal, berhasil atau tidaknya suatu Hilal dapat terlihat, tergantung dari beberapa faktor, yaitu :

  1. Tingkat pengamatan (baik atau buruk) orang yang melihat Hilal

  2. Ini adalah faktor dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman tentang Hilal yang bagus, tingkat pengamatan yang baik serta pekanya mata orang yang melihat Hilal bahkan faktor psikologis pengamat akan menjadi faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat. Alat bantu yang digunakan dalam melihat Hilal juga termasuk dalam faktor ini.

  3. Ukuran dan cahaya Hilal

    Ini adalah faktor dari sisi Hilal. Semakin besar maka akan semakin mungkin Hilal dapat terlihat. Faktor ini juga berkaitan erat dengan faktor berikutnya.

  4. Cuaca

    Ini adalah faktor dari sisi alam. Cuaca, transparansi udara mempengaruhi terlihat atau tidaknya Hilal. Cuaca yang tidak mendung atau hujan, tingkat penyerapan cahaya Hilal oleh atmosfir, tingkat penyebaran cahaya di dalam atmosfir, transparansi udara yang bersih akan menjadi beberapa faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat.

  5. Lokasi / Geografis

    Suatu lokasi pengamatan yang sedang turun hujan, pada lokasi pengamatan yang lain belum tentu turun hujan. Faktor keberhasilan melihat Hilal di lokasi yang lapang dan tidak ada gangguan cahaya (dari benda alami maupun buatan) jelas jauh lebih tinggi daripada di lokasi di tengah kota yang penuh bangunan tinggi dan siraman cahaya lampu.

  6. Empat faktor tersebut sangat berperan bagi orang yang ingin melihat Hilal, entah orang itu menggunakan ru’yah murni maupun ru’yah dengan memakai bantuan hisab (ru’yah tergantung/terpandu dengan hisab). Hanya saja bagi orang yang menggunakan ru’yah dengan memakai bantuan hisab masih terdapat satu faktor utama lagi, yaitu :

  7. Faktor Astronomi

    Hilal harus mungkin terlihat secara astronomi, misalnya posisi Hilal minimal harus mencapai ketinggian beberapa derajat, lebar Hilal, umur bulan minimal beberapa jam, dan sebagainya8.

Jika Hilal dapat terlihat dalam suatu ru’yah, maka hasil ru’yah tersebut dilaporkan kepada pemimpin kaum Muslimin. Hasil ru’yah tersebut dilaporkan dengan suatu kesaksian (disertai dengan sumpah) dari saksi (orang yang telah melihat Hilal). Syarat utama suatu kesaksian dapat diterima adalah :

  1. Muslim yang adil,

    dan

  2. kesaksiannya yang menyatakan bahwa dia telah melihat Hilal.

Jika kesaksian tersebut diterima, maka pemimpin mengumumkan bahwa pada saat itu (malam ketika Hilal telah terlihat) sudah memasuki bulan baru Qamariyah, jika pada bulan Ramadhan maka pengumuman dapat disertai perintah shaum, jika pada bulan Syawwal dapat disertai perintah berbuka.

Menurut fuqaha (para ahli fiqh), kesaksian melihat Hilal terdapat batas minimumnya :

  1. Hilal bulan Ramadhan :

    Kesaksian satu orang laki-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima. Ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Imam Asy-Syafi`i, dan Ahmad.

  2. Hilal bulan Syawwal :

    • Kesaksian minimal dua orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima. Ini adalah pendapat umumnya fuqaha.

    • Kesaksian satu orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, dan madzhab Zhahiri, dan ini adalah pendapat yang dirajihkan (dianggap pendapat yang paling benar) oleh Asy-Syaukani. Hadits Ibnu Umar yang sudah disebutkan sebelumnya dapat menjadi dalil tentang ke-rajih-an pendapat ini.

Dalam prakteknya, terkadang sumpah kesaksian lebih kuat daripada hasil hisab Hilal (misal : banyak atau sebagian ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin dapat dilihat pada hari K), dan terkadang kesaksian ditolak bila bertentangan dengan hasil hisab Hilal (misal : bila sangat banyak atau semua ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin dapat dilihat pada hari L). Hal tersebut tergantung dari penerapan metode dan kriteria ru’yah atau hisab yang dipakai.

Penentuan Hilal melalui ru’yah memiliki beberapa perbedaan pendapat dari sisi penerapan mathla`, yaitu :

  1. Satu ru’yah untuk semua negeri (ru’yah global)

    Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru’yah) Hilal dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.

    Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat Hilal pada suatu waktu (misal : malam Jum`at untuk penentuan bulan Ramadhan 2000 H), negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ru’yah Arab Saudi (yakni pada saat itu di setiap negara malam Jum`at dan hari Jum`at adalah tanggal 1 Ramadhan 2000 H).

    Pendapat satu ru’yah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq rahimahullah :

    ذهب الجمهور: إلى أنه لا عبرة باختلاف المطالع.

    فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته “.

    وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا.

    Jumhur berpendapat : Tidak ada perbedaan mathla`, maka penduduk negeri apa saja yang telah melihat Hilal, maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal)”. Ucapan tersebut adalah umum untuk semua umat, maka barangsiapa di antara mereka yang telah melihat Hilal di tempat mana saja, maka itu adalah ru’yah bagi mereka semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1 halaman 436 (MSV2)).

  2. Satu ru’yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan.

    Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru’yah) Hilal dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri yang berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri. Sedangkan negeri yang berjauhan tidak wajib mengikuti Hilal negeri tersebut.

    Bagaimana cara menentukan suatu negeri dengan negeri lain itu dekat atau jauh? Ulama yang berpendapat dengan pendapat mathla` ini berbeda pendapat dalam menentukan dekat atau jauhnya suatu negeri, ada yang berpendapat berdasarkan jarak (jarak qashar shalat atau jarak perjalanan), perbedaan iklim, perbedaan wilayah, dan lain-lain.

    Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat Hilal, negara-negara tetangga Indonesia (Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, dsj) yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ru’yah Indonesia.

    Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.

  3. Setiap negeri memiliki ru’yah masing-masing (ru’yah lokal).

    Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru’yah) Hilal dengan terpercaya dan terbukti maka negeri lain tidak wajib mengikutinya jika mereka tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.

    Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat Hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal tidak harus mengikuti hasil ru’yah Arab Saudi, melainkan mengandalkan hasil ru’yah di negerinya sendiri.

    Pendapat ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq rahimahumullah, dan pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.

Ketiga pendapat dalam masalah ru’yah Hilal tersebut memiliki dalil/argumen yang sama (dengan pemahaman yang berbeda), yaitu suatu hadits riwayat Bukhari dan Muslim :

‏ ‏صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ ‏ ‏غُبِّيَ ‏ ‏عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ ‏

Rasulullah bersabda, “Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal). Jika (Hilal) tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30 hari.” <<Bukhari [nomor : 1909], Muslim [nomor : 1809 (MSV2)] dari Abu Hurairah. Redaksi hadits ini adalah riwayat Bukhari>>. (Dalil ini juga memiliki beberapa sanad lain dengan matan yang agak berbeda dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar).

Sedangkan pendapat setiap negeri memiliki ru’yah masing-masing memiliki tambahan dalil dari hadits Kuraib / Ibnu Abbas :

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kuraib berkata : —Ummu Al-Fadhl binti Al-Harits pernah mengutus Kuraib pergi ke Mu`awiyah di Syam.—Aku tiba di Syam, lalu aku menyelesaikan urusan Ummu Al-Fadhl. Lalu Hilal Ramadhan diumumkan ketika aku masih berada di Syam. Aku melihat Hilal pada malam Jum’at. Lalu aku tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku –lalu dia menyebut Hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan kalian melihat Hilal?” Aku menjawab, “Kami melihat Hilal pada malam Jum’at.” Ibnu Abbas bertanya, “Kamu melihat Hilal?” Aku menjawab, “Ya, dan orang-orang melihat Hilal, lalu mereka shaum, dan Mu’awiyah juga shaum.” Ibnu Abbas berkata, “Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tidak berhenti shaum hingga kami menyempurnakan 30 hari atau kami melihat Hilal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah Mu’awiyah dan shaumnya?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan kami.” << Hadits Riwayat Abu Dawud [nomor : 1985 (MSV2)], Muslim [nomor : 1819 (MSV2)], dan At-Tirmidzi. Tirmidizi berkata : Hasan, Shahih, Gharib >>

L.2. Hisab

Walaupun ru’yah merupakan cara asli dalam menentukan awal/akhir bulan Qamariyah, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan pengetahuan, para ulama yang memahami ilmu falak dan para ahli falak dapat menentukan awal/akhir bulan Qamariyah dengan ilmu hisab secara matematis dan atau dengan ilmu falak/astronomi, yaitu dengan memperhitungkan gerak Bulan mengitari Bumi, bahkan saat ini sudah didukung dengan alat-alat astronomi dengan teknologi yang canggih, sehingga pada akhirnya metode hisab menjadi termasuk cara atau metode dalam menentukan Hilal / awal akhir bulan Qamariyah dan juga kalender Hijriyah.

Dalil diperbolehkannya hisab dipakai dalam menentukan awal/akhir bulan adalah :

  1. Menentukan awal bulan Qamariyah (secara umum : semua bulan Qamariyah) pada dasarnya termasuk dalam permasalahan dunia.

    Kaidah dalam permasalahan dunia adalah segala sesuatu adalah boleh kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Apalagi dengan ilmu hisab ini dapat membantu umat Muslim di seluruh dunia, baik dalam permasalahan dunia bahkan juga dalam beberapa permasalahan agama (seperti waktu shalat dan hisab awal Ramadhan/Syawwal/Dzulhijjah).

  2. Terdapat beberapa Al-Qur’an yang mengisyaratkan memerintah umat Muslim untuk mempelajari ilmu hisab, antara lain adalah :

    (((يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ )))

    ((( Mereka bertanya tentang Hilal-Hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji [Al-Baqarah (2): 189] )))

    ((( Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. [Yunus (10) : 5] )))

    ((( Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. [ Al-Israa’ (17) :12] )))

    ((( Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. [Al-An’am (6) : 96] )))

  3. Dalil dari hadits. Hadits yang digunakan sebagai dalil ru’yah oleh pengguna ru’yah juga dipakai sebagai dalil oleh pengguna hisab, hanya saja yang dipakai adalah versi sanad yang lain dengan matan yang agak berbeda dari dalil yang digunakan sebagai dalil ru’yah.

    Dalilnya adalah :

    ‏ ‏إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ ‏ ‏غُمَّ ‏ ‏عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ‏

    Rasulullah bersabda, “Jika kalian melihat Hilal, maka shaumlah kalian. Dan jika kalian melihat Hilal (Syawwal), maka berbukalah kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian menghitungnya!” <<Bukhari [nomor : 1900], Muslim [nomor : 1797 (MSV2)] dari Ibnu Umar. Redaksi hadits ini adalah riwayat Bukhari, dan masih ada beberapa sanad lain di kedua kitab tersebut yang matannya menyebutkan “faqdiruu lahu”>>.

  4. Beberapa ulama menyatakan bolehnya memakai hisab antara lain : Ibnu Qutaibah, Abul Abbas Ahmad bin Amr bin Suraij asy-Syafi’i, Ibnu Hazm, Ibnu Daqiq al-‘Iid, Taqiyuddin al-Subki, Muhammad Rasyid Ridha, Asy-Syarwani, Asy-Syarqawi, Al-`Abbadi, Al-Qalyubi, Ar-Ramli, Ahmad Muhammad Syakir, Syaraf al-Qudah, Yusuf Al-Qaradhawi, Musthafa Ahmad Az-Zarqa, dan lain-lain. Ulama-ulama Indonesia juga cukup banyak yang menyatakan bolehnya menggunakan hisab, beberapa di antara mereka adalah Ahmad Dahlan dan A. Hassan9 rahimahumallah dsb).

Penentuan Hilal dengan hisab dapat dilakukan dengan metode matematis maupun astronomis, mulai dari metode yang sederhana hingga yang rumit. Berikut ini adalah dua sistem hisab utama dalam penentuan Hilal/kalender Hijriyah :

  1. Hisab `Urf : Hisab berdasarkan kebiasaan. Dalam konteks kalender Hijriyah, pengertiannya adalah metode perhitungan bulan Qamariyah dengan cara yang masih sederhana, yaitu membagi jumlah hari dalam satu tahun ke dalam bulan-bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan tersebut. Sedangkan pengertiannya menurut ilmu falak adalah metode perhitungan yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi (rata-rata jumlah hari dalam satu bulan dan juga dalam satu tahun).
    Pematokan jumlah hari/usia bulan-bulan Qamariyah dalam hisab `urf misalnya : pasti 30 hari untuk bulan ganjil, dan pasti 29 hari untuk bulan genap (selang seling) dengan pengecualian bulan terakhir (bulan ke-12) pada tahun kabisat. Dalam tahunan, jumlah hari dalam satu tahun basitat adalah 354 hari, sedangkan dalam satu tahun kabisat jumlah harinya adalah 355.

    Kalender Hijriyah yang beredar di Indonesia ini banyak yang dibuat dan disusun berdasarkan hisab `urf.

  2. Hisab Haqiqi : Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya.
  3. Tidak seperti hisab `urf, umur bulan dengan hisab ini tidak dapat dipatokkan, bahkan bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29 atau 30 hari secara berurutan. Hisab yang menggunakan pendekatan matematis dan astronomis modern hingga hisab yang menggunakan software rumus-rumus algoritma termasuk dalam hisab haqiqi. Pada zaman ini, hisab hakiki-lah hisab yang banyak dipakai dan diterima oleh kaum Muslimin, tidak hanya hisab Hilal tetapi juga hisab lainnya seperti hisab jadwal shalat 5 waktu.

Berikut ini beberapa metode atau perbedaan pendapat tentang kriteria yang tepat untuk pergantian bulan Qamariyah dalam ilmu hisab astronomi/falak hakiki :

  1. Ijtima`

    Metode hisab yang menggunakan ijtima` sebagai kriteria utama. Jika terjadi ijtima` pada hari terakhir bulan Qamariyah, maka keesokan harinya adalah awal bulan baru (tanggal 1). Metode ini terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya adalah :
    1. Ijtima` qabla ghurub : : Ijtima` sebelum maghrib/matahari terbenam.

      Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari sebelum maghrib/matahari terbenam, maka hari berikutnya telah bulan baru.


      Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Jum`at 1 menit sebelum maghrib di Makkah, maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1).


      Dalam prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan dipadukan kriteria “bulan terbenam setelah matahari terbenam”10, paduan kriteria ini dipakai oleh Arab Saudi (kalender Ummul Qura’ saat ini) dalam penentuan Hilal bulan-bulan Qamariyah selain bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dengan patokan mathla` di Makkah, yang metode hisab ini juga dipilih/diikuti oleh Islamic Society of North America (versi 1), dan European Council for Fatwa and Research. Mesir juga mengikutinya dengan menambah ketentuan : bulan terbenam minimal 5 menit setelah matahari terbenam.
    2. Ijtima` qabla fajar : Ijtima` sebelum fajar/matahari terbit.

      Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari sebelum fajar berikut, maka hari berikutnya itu telah bulan baru.
    3. Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Sabtu jam 02.06 am (sebelum fajar), maka hari Jum’at dan malam Jum`at yang telah berlalu adalah hari terakhir bulan Qamariyah sedangkan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jadi, metode ini tidak menerapkan awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib, tapi menerapkan awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat fajar11.

      Metode ini mungkin tidak begitu dikenal di Indonesia, tetapi metode ini ada dan dipakai di beberapa negeri lain, contohnya adalah Libya.

    4. Ijtima` sebelum jam 12 waktu Universal (UTC/GMT)

      Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari sebelum jam 12 waktu Universal (0.00 – 12.00 GMT), maka maghrib hari itu adalah malam pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia. Jika terjadi setelah jam 12 waktu Universal (12.00 – 23.59 GMT), maka maghrib hari berikutnya adalah malam pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia.

      Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Kamis 11 September pada jam 11 GMT, maka malam Jum`at dan hari Jum`at 12 Setember adalah awal bulan baru (tanggal 1) Qamariyah berlaku untuk seluruh dunia.
    5. Ini adalah metode hisab yang diusulkan sebagai kelender Islam global oleh Khalid Asy-Syaukat (ISNA versi 2, USA), diikuti pula oleh Fiqh Council of North America (FCNA), yang terinspirasi dari metode hisab yang diusulkan Jamaluddin Abdurrazaq (Moroko) sebagai kalender Qamariah Islam Unifikasi (at-Taqwim al-Qamari al-Islami al-Muwahhhad).12

  2. Dan masih ada beberapa macam metode hisab` ijtima lain yang pernah digunakan atau diusulkan selain yang sudah disebutkan di atas13, tapi hal itu tidak dibahas secara detil pada tulisan ini.

  3. Wujudul Hilal

    Metode hisab yang menggunakan wujudul Hilal sebagai kriteria utama, yang Hilal dikatakan wujud (ada) jika bulan terbenam setelah matahari terbenam. Metode ini menganggap jika bulan terbenam setelah matahari terbenam pada suatu hari terakhir bulan Qamariyah, maka maghrib hari itu dan esok hari adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jika pada hari itu matahari terbenam setelah bulan terbenam, maka Hilal belum wujud, sehingga maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir bulan Qamariyah tersebut (tanggal 30).

    Pada saat bulan terbenam setelah matahari terbenam, Hilal telah berada tepat di ufuk atau di atas ufuk (dalam kalimat lain : irtifa`nya adalah 0 derajat atau lebih), oleh karena itu metode hisab wujudul Hilal dapat diartikan dengan kriteria Hilal di atas ufuk. Walaupun begitu, metode hisab ini tidak menetapkan kriteria irtifa` minimal dan tidak mempertimbangkan kemungkinan Hilal untuk diru’yah sebagaimana metode hisab imkanur ru’yah yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.

    Contoh kasus : Pada sore hari Jum`at 29 Sya`ban, bulan terbenam satu menit setelah matahari terbenam, maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1 Ramadhan).

    Dalam prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan dipadukan dengan metode ijtima` qabla ghurub, perpaduan ini penting karena dalam faktanya terkadang Hilal telah wujud tapi belum terjadi ijtima`.

    Di Indonesia, Muhammadiyah pernah menggunakan metode wujudul Hilal sebelum akhirnya menggunakan metode wujudul Hilal + ijtima` qabla ghurub. Metode gabungan ini juga pernah diterapkan oleh Persatuan Islam (PERSIS). Walaupun kedua organisasi Islam itu menggunakan metode hisab yang sama, keduanya memiliki perbedaaan dalam penerapan metode ini, yaitu : Muhammadiyah menambahkan ketentuan “wilayatul hukmi”, yaitu berlaku untuk seluruh daerah dalam satu wilayah hukum suatu negeri. Berbeda dengan Muhammadiyah, PERSIS tidak memakai ketentuan “wilayatul hukmi”, tetapi memakai tambahan ketentuan : kriteria metode ini harus terpenuhi di seluruh wilayah Indonesia.

    Contoh kasus : Jika menurut hasil hisab Muhamadiyah Hilal di sebagian tempat di Indonesia pada Jum`at sore telah terjadi ijtima` sebelum maghrib dan telah wujud (Hilal berada di atas ufuk), maka malam Sabtu dan hari Sabtu di seluruh tempat di Indonesia dianggap telah memasuki awal bulan baru. Kondisi seperti itu, menurut PERSIS belum memenuhi kriteria hisab yang dipakai oleh PERSIS, sehingga malam Sabtu dan hari Sabtu menjadi hari terakhir pada suatu bulan Qamariyah (yaitu tanggal 30), malam Ahad dan hari Ahad adalah awal bulan baru (tanggal 1).

    Metode wujudul Hilal + ijtima` qabla ghurub ini sama seperti kriteria Ijtima` qabla ghurub + wujudul Hilal. Sebagai contoh, metode wujudul Hilal + ijtima` qabla ghurub yang dipakai Muhammadiyah di Indonesia serupa dengan metode ijtima` qabla ghurub + wujudul Hilal yang diterapkan pada kalender Ummul Qura di Arab Saudi.

  4. Imkanur Ru’yah (Kemungkinan Hilal dapat dilihat / visibilitas Hilal)

    Metode hisab ini menggunakan suatu kriteria yang mempertimbangkan kemungkinan untuk ru’yah Hilal. Kriteria itu dapat berupa irtifa`, sudut elongasi14, umur Hilal, lebar Hilal, dan sebagainya. Metode ini menganggap bahwa jika posisi Hilal sudah memenuhi syarat suatu kriteria imkanur ru’yah yang dipakai (sebagai contoh : irtifa`), maka dalam kondisi normal (cuaca cerah, tidak hujan, dan sejenisnya) Hilal sudah dapat dipastikan dapat terlihat —meskipun pada kenyataannya belum tentu dapat benar-benar terlihat—, maghrib hari itu dan esok hari adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jika belum memenuhi syarat kriteria imkanur ru’yah (sebagai contoh : irtifa`), maka maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir bulan Qamariyah tersebut (tanggal 30).

    Catatan penting : Walaupun dalam namanya terdapat kata ru’yah, “imkanur ru’yah” bukanlah suatu metode atau bagian dari ru’yah itu sendiri melainkan berupa suatu metode atau kriteria hisab Hilal astronomi sebagaimana metode hisab Hilal astronomi lainnya.


    Imkanur ru’yah yang digunakan oleh sebagian kaum Muslimin terdiri dari beberapa kriteria yang berbeda, di antaranya adalah :

    • Imkanur Ru’yah dengan kriteria irtifa` minimal 2 derajat. Kriteria ini dipilih/dapat diterima oleh NU (NU menggunakan hisab sebagai alat bantu). Kriteria ini juga dipakai pemerintah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan tambahan kriteria : (1) umur Hilal minimal 8 jam, dan (2) sudut elongasi minimal 3 derajat. Kriteria ini juga masih dipakai saat ini oleh PERSIS15.

    • Imkanur Ru’yah dengan kriteria (1) irtifa` minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978.

    • Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.

    • Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat ditambah kriteria irtifa` minimal 4 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung. Kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat merupakan kriteria yang lebih dahulu diusulkan Odeh / Muhammad Syaukat Audah16.

    • Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7 derajat dan umur Hilal minimal 12 jam. Kriteria ini diusulkan oleh Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis, pada tahun 1936. Kriteria ini dikenal pula dengan istilah “Limit Danjon”. Kriteria ini juga diterima oleh Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991.

    • Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun 1998. Kriteria ini dikenal kriteria Fatoohi.

      Dan masih ada beberapa macam kriteria yang dipakai pada metode hisab` imkanur ru’yah yang digunakan atau diusulkan selain yang sudah disebutkan di atas17, tapi hal itu tidak dibahas secara detil pada tulisan ini.

      Dalam prakteknya, kriteria-kriteria imkanur ru’yah tersebut dapat dipadukan dengan kriteria lain dalam menentukan Hilal bulan Qamariyah atau dalam membuat kalender Hijriyah, misalnya ditambah kriteria pembagian dunia menjadi beberapa zona dengan menerapkan garis tanggal Hijriyah atau garis tanggal Qamariyah atau Khat at-Tarikh al-Qamari atau Lunar Date atau International Lunar Date Lines (ILDL)18.

Ketiga metode hisab itulah metode hisab falak/astronomi hakiki yang masyhur, yang kesemuanya dapat dipelajari oleh orang-orang yang berminat terhadap ilmu hisab falak/astronomi, khususnya oleh kaum Muslimin. Pada faktanya, para ahli hisab falak/astronomi masih berbeda pendapat tentang metode apa dari ketiga metode tersebut yang paling tepat dalam menentukan Hilal. Ada sebagian ahli hisab falak/astronomi yang menggabungkan beberapa metode hisab tersebut, misalnya menggabungkan metode ijtima` qabla ghurub dan metode wujudul Hilal. Di sisi lain, ada juga sebagian ahli hisab falak/astronomi ada yang mempermasalahkan beberapa metode tersebut, entah dari sisi metodenya atau dari sisi rincian metodenya, bahkan ada yang sampai menolak keras beberapa metode hisab yang dianggap bermasalah/tidak ilmiah menurut mereka.

M. Pendapat yang Ideal Tentang ru’yah19

Dalam masalah ru’yah, kaum Muslimin saling berbeda pendapat tentang pendapat manakah yang paling kuat dalam penentuan ru’yah, apakah pendapat pertama (satu ru’yah untuk semua negeri), pendapat kedua (satu ru’yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan), atau pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru’yah masing-masing)? Menurut penulis, pendapat yang paling kuat / mendekati kebenaran adalah pendapat yang pertama, Insya Allah, pendapat yang paling ideal, dan juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini memiliki beberapa alasan antara lain :

  1. Kata “kalian” pada hadits ru’yah berlaku umum untuk semua orang Islam. Jika ada yang melihat Hilal, jujur, terpercaya dan terbukti tanpa memandang perbedaan mathla` (tempat munculnya Hilal), maka persaksian itu harus diterima.

  2. Umat Islam itu satu, karena itu perlu penyeragaman dalam penentuan Hilal bulan Qamariyah.

Sebagian kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru’yah masing-masing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan dalil hadits Kuraib yang sudah disebut sebelumnya dan menyatakan bahwa jika pendapat pertama (satu ru’yah untuk semua negeri) lebih kuat, maka hadits umum tentang ru’yah itu bertentangan/bentrok dengan hadits Kuraib.

Jika direnungkan lagi, sebenarnya hadits Kuraib tidak bertentangan dengan hadits umum tentang ru’yah. Beberapa alasannya adalah :

  1. Pada saat itu negeri-negeri berjauhan dan belum memiliki suatu sistem komunikasi yang canggih dan cepat.

  2. [Ibnu Abbas bertanya, “Kapan mereka melihat Hilal?”] Hal ini menandakan bahwa Ibnu Abbas tidak tahu kapan Mu`awiyah yang merupakan seorang khalifah memulai shaum Ramadhan di Syam, dan Ibnu Abbas baru mengetahui hal itu saat Kuraib mengabarinya. Dengan alasan ini pula menandakan bahwa sekalipun Mu`awiyah mengumumkan berita ru’yah di negerinya, tetapi dia tidak menyebarkannya ke negeri yang lain karena pada saat itu belum adanya suatu sistem komunikasi yang cepat (pada saat itu informasi disampaikan melalui utusan yang waktu tempuhnya dapat berhari-hari sehingga tidak efektif untuk urusan seperti Hilal ini).
  3. [ Aku tiba di Syam, lalu aku menyelesaikan urusan Ummu Al-Fadhl. Lalu Hilal Ramadhan diumumkan ketika aku masih berada di Syam. Aku melihat Hilal pada malam Jum’at. Lalu aku tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku –lalu dia menyebut Hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan kalian melihat Hilal?” ] Kuraib menyampaikan berita Hilal Ramadhan di Syam pada Ibnu Abbas di Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Kesimpulannya berita Hilal itu sangat telat datang (tapi masih dapat dimaklumi jika melihat kondisi pada saat itu) pada saat shaum sudah berjalan beberapa pekan (hampir sebulan), oleh karena itu Ibnu Abbas menyatakan bahwa mereka (penduduk Madinah) akan meneruskan shaum mereka hingga mereka melihat Hilal Syawwal atau ikmal. Seandainya berita Hilal Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah (dan kondisi seperti ini pada saat itu sangat sulit tercapai), maka belum tentu Ibnu Abbas akan berkata seperti itu.
  4. [Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan kami] Perkataan Ibnu Abbas ini bisa ditafsirkan dalam beberapa penafsiran, apakah maksudnya adalah :

    (a) Rasulullah memerintahkan ru’yah Hilal Ramadhan berlaku di masing-masing negeri
    >

    atau

    (b) Rasulullah memerintahkan jika berita Hilal Ramadhan dari negeri lain sampai dengan telat pada saat negeri itu sedang shaum beberapa pekan, maka penduduk negeri itu sebaiknya melanjutkan shaum mereka.

    Pendapat 4b lebih baik, Insya Allah, daripada 4a sehingga hadits Kuraib ini tidak bentrok dengan hadits Hilal secara umum. Seandainya berita Hilal Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah (dan kondisi seperti ini pada saat itu sangat sulit tercapai), maka belum tentu Ibnu Abbas akan berkata seperti itu dan Ibnu Abbas sangat mungkin akan mengikuti kesaksian orang-orang yang telah menyatakan melihat Hilal Ramadhan di negeri lain.

  5. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja menerima persaksian orang-orang yang melihat Hilal tanpa menanyakan di mana mereka melihat Hilal. Berikut ini hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas pula :

    جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

    Seorang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam dan berkata, “Sesungguhnya aku telah melihat Hilal.” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” Orang Arab Badui menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkanlah kepada manusia supaya mereka shaum esok hari!” << Hadits Riwayat Abu Dawud (No:1993[MSV2]), At-Tirmidzi (No:627[MSV2]), An-Nasa’i (No:2085), Ibnu Majah (No:1642(MSV2), matan ini adalah versi At-Tirmidzi>>

N. Menuju Penyatuan Kalender Hijriyah

Bagaimana cara supaya umat Islam dapat memiliki kalender Hijriyah yang sama, terutama supaya umat Islam memiliki hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha yang sama? Caranya adalah dengan membuat kesepakatan bersama dalam menggunakan suatu metode penentuan Hilal.

Siapa yang membuat kesepakatan? Menurut penulis mereka adalah perwakilan para ulama, ahli hisab, dan pemimpin kaum Muslimin dari berbagai negeri, tentu tidak mudah karena mereka semua harus bermusyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan, harus rela membuang egoisme masing-masing, dan harus mengutamakan persatuan dan persaudaraan umat Islam. Jika ada khilafah Islamiyah, tentu saja sang khalifah yang akan menjadi orang yang menentukan keputusan metode penentuan Hilal apa yang akan dipakai, yang sebelum memutuskan hal itu sang khalifah dapat mempertimbangkan dan mempelajari berbagai metode penentuan Hilal serta dapat mengajak musyawarah/minta pendapat dengan para ulama dan ahli hisab.

Metode apakah yang dipilih, ru’yah atau hisab? Jika memilih ru’yah murni, maka satu-satunya cara untuk menuju hal itu adalah dengan memilih pendapat satu ru’yah untuk semua negeri, karena jika bukan pendapat itu yang dipilih, maka akan sangat mungkin terjadi dua tanggal Hijriyah yang berbeda (atau bahkan lebih dari dua) pada satu hari yang sama, misalnya sebagian negeri hari Jum`at adalah tanggal 1 Ramadhan karena melihat Hilal, sedangkan sebagian negeri yang lain hari Jum`at masih tanggal 30 Sya`ban karena tidak melihat Hilal.

Kelemahan metode ru’yah murni adalah akan terjadi kesulitan yang sangat (jika tidak mau dikatakan sebagai hal yang mustahil) dalam pembuatan suatu kalender Hijriyah tahunan. Bayangkan saja, awal bulan Qamariyah selanjutnya tidak dapat dipastikan kecuali setelah tanggal 29 bulan Qamariyah tiba —tanggal untuk melihat ru’yah pada saat matahari terbenam—, jika Hilal terlihat, maka keesokan harinya adalah tanggal 1 bulan baru Qamariyah, sedangkan jika Hilal tidak terlihat, maka keesokan harinya adalah hari terakhir bulan tersebut (tanggal 30).

Bagaimana jika memilih suatu metode hisab murni yang disepakati bersama, misalnya kriteria ijtima` qabla ghurub + wujudul Hilal? Menggunakan suatu metode hisab murni tersebut adalah sangat mungkin diterapkan dalam pembuatan kalender Hijriyah tahunan, termasuk dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, dan jika ini dapat terjadi maka umat Islam sama sekali tidak akan pusing lagi ketika ketiga bulan tersebut akan tiba karena tanggal yang ada pada kalender tersebut adalah pasti, kecuali jika ada perubahan hasil hisab dalam kasus tertentu.

Kelemahan metode hisab murni ini adalah akan terjadi kesulitan yang sangat ketika proses musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan, karena masih banyak orang, khususnya para ulama yang berpendapat bahwa metode terbaik dalam penentuan Hilal terutama pada bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah adalah metode ru’yah, ada juga sebagian ulama yang sangat menolak keras penggunaan hisab bahkan hingga mengganggap hisab adalah bid`ah20.

Cara terakhir untuk mewujudkan penyatuan kalender Hijriyah adalah dengan memadukan metode ru’yah dengan metode hisab. Pada faktanya, ternyata sudah banyak negeri yang memakai perpaduan metode ru’yah dengan metode hisab, termasuk pemerintah Indonesia (metode satu ru’yah untuk masing-masing negeri dengan metode hisab imkanur ru’yah MABIMS), pemerintah Arab Saudi (metode satu ru’yah untuk masing-masing negeri untuk bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah; dengan metode hisab ijtima` qabla ghurub + wujudul Hilal untuk selain tiga bulan tersebut), dan lain-lain. Hanya saja belum ada kesepakatan kriteria perpaduan metode ru’yah dan metode hisab yang akan dipakai bersama-sama di berbagai negeri karena memang belum ada musyawarah antar wakil negeri-negeri tentang hal tersebut yang berhasil (mencapai kesepakatan).

Menurut penulis kriteria yang ideal dalam perpaduan metode ru’yah dengan metode hisab adalah :

  1. Menggunakan pendapat satu ru’yah untuk semua negeri

  2. Menggunakan satu kriteria hisab yang disepakati, yaitu menggunakan :

    1. Ijtima`

      Dengan menggunakan metode hisab ijtima`, misalnya ijtima` sebelum jam 12 waktu universal atau kriteria perpaduan qabla ghurub + wujudul Hilal, maka umat Islam dapat mempunyai satu kalender Hijriyah yang berlaku untuk seluruh kaum Muslimin di dunia.

      atau

    2. Imkanur ru’yah

      Dengan menggunakan perpaduan hal ini, maka ini bisa menjadi bukti bahwa sebenarnya hisab dan ru’yah tidak bertentangan, malah sebaliknya hisab bisa menjadi pendukung ru’yah. Dengan imkanur ru’yah, bisa ditentukan apakah Hilal kemungkinan besar akan terlihat atau tidak. Jika hasil hisab kriteria imkanur ru’yah tertentu menyatakan ru’yah dapat terlihat di suatu tempat, maka hanya perlu pembuktian dengan ru’yah. Jika hasil hisabnya menyatakan bahwa Hilal kemungkinan tidak akan terlihat, maka itu juga dapat dibuktikan dengan ru’yah. Pembuktian ini bisa dilakukan pada semua bulan jika diinginkan, termasuk pada bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Dan jika pada suatu waktu terdapat kasus hasil ru’yah berbeda dengan hasil imkanur ru’yah, maka jika hasil ru’yah itu terbukti benar, hasil hisab imkanur ru’yah harus diubah disesuaikan dengan hasil ru’yah itu, sedangkan jika ada laporan ru’yah tapi tidak terbukti kebenarannya serta mustahil menurut kesepakatan ilmu hisab, maka hasil ru’yah itu dapat ditolak.

Oleh karena itu, dengan tidak meninggalkan ilmu hisab dalam penentuan bulan Qamariyah pada kalender Hijriyah, termasuk penentuan Hilal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, maka Insya Allah persatuan umat Islam di dunia dalam masalah tanggal atau kalender Hijriyah dapat tercapai. Tidak akan ada lagi perbedaan waktu shaum, Idul Fitri dan Idul Adha di seluruh dunia. Alangkah indahnya jika hal tersebut bisa terwujud. Jika orang non-muslim saja dapat merayakan suatu hari besar mereka pada satu hari yang sama, kita sebagai Muslim lebih berhak untuk bisa bersatu dalam shaum (Ramadhan), Idul Fitri (Syawwal), dan Idul Adha (Dzulhijjah).

O. Opini Penulis tentang Penentuan Hilal di Indonesia

Beberapa hal yang biasa dilakukan DEPAG/pemerintah dalam penentuan Hilal.

  1. Cara yang dipakai oleh pemerintah/Depag RI adalah metode ru’yah satu ru’yah untuk masing-masing negeri ditambah metode hisab imkanur ru’yah21.

  2. Biasanya menugaskan beberapa orang Depag untuk melakukan ru’yah Hilal di beberapa tempat di wilayah Indonesia.22

  3. Jika mayoritas orang Depag yang ditugaskan tersebut menyatakan tidak melihat Hilal pada sidang itsbat, maka pendapat itu yang biasanya dipakai.

  4. Biasanya akan melakukan rapat dengan ormas Islam sebelum penentuan awal bulan Ramadhan/Syawwal (sidang itsbat), tetapi pendapat yang dipilih biasanya pendapat yang sudah dipilih oleh pemerintah/Depag sebelumnya.

  5. Sekalipun cukup banyak Muslim non-Depag atau ormas yang melihat ru’yah dan sudah melaporkannya kepada pemerintah, jika pemerintah/Depag RI sudah memutuskan untuk ikmal maka pasti akan digenapkan (tidak memakai hasil ru’yah orang/pihak lain).

  6. Biasanya waktu awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah di Indonesia adalah waktu yang telah ditetapkan sesuai dengan kalender yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia. Dan biasanya pula, lama bulan Ramadhan adalah 30 hari. Jarang terjadi tanggal Idul Fitri atau Idul Adh-ha yang sudah ada pada kalender pemerintah yang diubah oleh pemerintah23.

  7. Cukup sering hasil penentuan Hilal (terutama Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah) pemerintah/Depag RI berbeda dengan banyak hasil penentuan Hilal negeri Muslim lainnya di dunia24.

  8. Beberapa tahun yang lalu (1428 H) Depag sudah memanggil ahli ru’yah dan ahli hisab dari berbagai ORMAS untuk saling berdiskusi. Semoga mereka dapat berdiskusi dengan baik, saling menerima kebenaran, mau mengakui kekeliruan jika memang terjadi kekeliruan, membuang egoisme dan mengutamakan ukhuwah Islamiyah serta bertujuan untuk mendapat hasil yang terbaik untuk umat Muslim ini. Jika ternyata diskusi tahun lalu tersebut masih belum mendapat kesepakatan, maka harus terus sering diadakan diskusi pada waktu selanjutnya hingga pada akhirnya mendapatkan suatu kesepakatan bersama.

Beberapa hal yang dilakukan oleh masyarakat/ORMAS Muslim di Indonesia (non depag/pemerintah) dalam penentuan Hilal :

  1. ORMAS yang paling berani mengemukakan pendapat dalam menerapkan hisab untuk penentuan Hilal adalah Muhammadiyah. Biasanya mereka berani untuk mengumumkan hasil hisabnya jauh hari sebelum hari H.

  2. Ada beberapa ORMAS yang mengikuti sidang itsbat tentang penentuan awal bulan yang pada sidang tersebut mereka mengikuti pendapat pemerintah/Depag, tetapi pada kenyataannya (entah secara organisasi maupun personal) mereka menerapkan pendapat yang berbeda dengan apa yang sudah diputuskan tersebut.

  3. Ada beberapa ORMAS pusat yang mengikuti pendapat pemerintah RI, tetapi ORMAS cabangnya tidak mau sependapat dengan ORMAS pusat disebabkan mereka sudah melihat Hilal atau negeri lain ada yang sudah melihat Hilal. Ini pernah terjadi pada sebagian cabang Nahdhatul Ulama.

  4. Ada beberapa orang/ORMAS di Indonesia yang berpegang pada pendapat satu ru’yah untuk semua negeri dan mereka biasanya mengambil patokan Arab Saudi. Contoh ORMAS yang berpendapat seperti ini adalah Hizbut Tahrir25.

  5. Ada beberapa orang/ORMAS di Indonesia yang serius dalam melihat ru’yah dan maksimal untuk dapat menemukannya. Jika mereka melihat ru’yah, mereka akan berpegang pada pendapat tersebut walaupun berbeda dengan keputusan pemerintah RI. Contoh ORMAS ini cukup banyak, satu di antara mereka adalah Front Pembela Islam (FPI).

  6. Ada beberapa orang/ORMAS di Indonesia yang berpegang pada pendapat masing-masing negara memiliki ru’yah masing-masing, mereka mengikuti penentuan Hilal pemerintah RI untuk bulan Ramadhan dan Syawwal, tetapi untuk masalah Dzulhijjah mereka mengikuti penentuan Hilal di Arab Saudi26. ORMAS yang berpendapat seperti ini adalah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Contoh lainnya adalah sebagian kelompok Salafi27.

  7. P. Penutup

    Dalam bagian akhir dari tulisan ini, penulis akan memberikan suatu kesimpulan dari apa yang sudah dibahas pada tulisan ini :

    1. Terdapat tiga cara dalam penentuan Hilal bulan Hijriyah, yaitu ru’yah, ikmal dan hisab.

    2. Terdapat perbedaan pendapat dalam penentuan ru’yah Hilal dari sisi penerapan mathla`, yaitu :

      1. satu ru’yah untuk semua negeri
      2. satu ru’yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan
      3. setiap negeri memiliki ru’yah masing-masing.
    3. Ilmu hisab adalah termasuk cara yang boleh dan baik dipakai untuk penentuan Hilal, dan hal ini sebenarnya tidak bertentangan dengan ru’yah.

    4. Terdapat perbedaan pendapat tentang kriteria yang tepat untuk pergantian bulan Qamariyah dalam ilmu hisab astronomi/falak hakiki, yaitu

      1. Ijtima`
      2. Wujudul Hilal
      3. Imkanur ru’yah
    5. Jika setiap pemimpin negeri Muslim, wakil ulama dan ahli hisab dari berbagai negeri berkumpul untuk membicarakan masalah ini, lalu memilih pendapat satu ru’yah untuk semua negeri dengan pertimbangan kesatuan umat Islam di seluruh dunia, lalu ditambah dengan dipakainya ilmu hisab yang dibantu dengan teknologi dan alat astronomi yang canggih pada zaman ini, Insya Allah, tidak akan ada istilah lagi umat Islam merayakan hari raya yang sama (Idul Fitri dan Idul Adha) dengan hari/tanggal yang berbeda.

    6. Perbedaan pendapat (dalam hal yang diperbolehkan, bukan menyangkut masalah yang paling penting dari yang paling penting seperti aqidah, iman, dan sebagainya) memang akan sering terjadi, tetapi jika tidak ada suatu upaya untuk menyatukan pendapat yang sebaiknya tidak boleh berbeda untuk kemaslahatan umat Islam, maka perbedaan tersebut akan terus menjadi perbedaan yang jika tidak disikapi dengan baik maka bisa saja menjadi suatu perpecahan.

    7. Jika sampai saat ini perbedaan tentang penentuan Hilal masih saja terjadi di berbagai belahan dunia, maka sikap kita adalah silakan pilih dan terapkan pendapat yang menurut kita paling kuat dengan tetap menghormati orang-orang yang memilih dan menerapkan pendapat yang berbeda, karena selama masih dalam perbedaan pendapat yang dibolehkan (apalagi pendapat-pendapat tersebut sama-sama memiliki dalil yang shahih dan kuat), maka perbedaan seperti itu seharusnya dapat dimaklumi, dan walaupun berbeda pendapat dalam hal itu, kita sama-sama tetap menjaga persatuan ukhuwah Islamiyah kita. Jangan sampai hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan berbeda pendapat, pemegang pendapat yang satu mengejek dan menjatuhkan pemegang pendapat yang lain, begitu juga sebaliknya, jangan sampai perbedaan pendapat ini menjadi perpecahan. Diskusi antara pemegang pendapat yang berbeda tentu saja boleh terjadi dan boleh sering dilaksanakan, apalagi jika ternyata dapat menyatukan atau menyamakan pendapat, dan yang harus diperhatikan dalam diskusi adalah kita harus memperhatikan adab diskusi yang baik, karena Islam mengajarkan adab yang baik dalam segala hal, termasuk dalam diskusi.

      Tentu bagus dan wajar jika kita masih mengharapkan suatu saat nanti akan terjadi kesepakatan satu pendapat tentang penentuan Hilal. Senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta`ala serta berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan kita dalam mewujudkan hal itu adalah dua langkah yang bagus yang Insya Allah cepat atau lambat harapan tersebut dapat terwujud.

    Demikian penjelasan penulis tentang Hilal, ru’yah, hisab dan seputarnya. Semoga tulisan ini dapat dimengerti dan bermanfaat untuk kita semua. Wallaahu A’lam.

    Yusuf KS (Muslim unity is one of the best!!).

    Web Blog : https://myks.wordpress.com

    Permalink : https://myks.wordpress.com/2007/10/03/penentuan-Hilal-dengan-ruyah-dan-hisab/

    PDF Version : http://www.kakikaku.com/yks/articles/hilal_ruyah_hisab.pdf
    Scribd Link : http://www.scribd.com/doc/35770213/hilal-ruyah-hisab

    Referensi :

    Fenomena Umur bulan Dzulhijjah oleh Bakhtiar

    First Visibility of the Lunar Crescent : Beyond Danjon’s Limit by A. H. Sultan

    Fiqhu as-Sunnah juz 1 oleh Sayyid Sabiq Rahimahullah. Maktabah Syamilah Versi 2 (MSV2).

    Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar’i tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah disusun oleh Syamsul Anwar

    Hisab Wujud al-Hilal oleh Bakhtiar

    Kalender Hijriah Terpadu oleh Susiknan Azhari

    Kamus Al-Munawwir

    Kamus Besar Bahasa Indonesia

    Konsepsi Titik Temu Hisab – Rukyat di Indonesia oleh T. Djamaluddin

    Kriteria Penanggalan Hijriyah Arab Saudi oleh Ma`rufin (Mailing list Jogja Astro Club)

    Majmuah ar-rasail ats-tsalatsah [yang sudah diterjemahkan oleh Agus Hasan Bashari pada majalah Qiblati No.1 Vol.2].

    Mengapa 29 hari? http://www.pesantrenpajagalan.com/mengapa-29-hari/

    Muslims Must Adopt Calculated Islamic Hijri Dates by Omar Afzal Ph.D. (1986, Revised 1998)

    New Criterion for Lunar Crescent Visibility by Mohammad Shaukani Odeh. Springer 2006.

    Penentuan Awal Bulan Hijriyah oleh Mufti

    Redefinisi Hilal Menuju Titik Temu Kalender Hijriyah oleh T. Djamaluddin

    Seputar Hisab & Rukyat oleh Fahmi Amhar (Majalah Dakwah No.7)

    Shahih Bukhari oleh Imam Bukhari. Dar Ibnu Hazm.

    Shahih Muslim oleh Imam Muslim. MSV2.

    Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah. MSV2.

    Suggested Global Islamic Lunar Calendar By Khalid Shaukat

    The Danjon Limit of First Visibility of the Lunar Crescent by Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli

    Al-masaail fii syahri Ramadhan.

    IslamOnline.net

    dll

    Note :

    Untuk melengkapi tulisan Penentuan Hilal dengan ru’yah dan Hisab ini, penulis sudah menulis tulisan lain yang berjudul Satu Umat Islam Satu Kalender Hijriyah (https://myks.wordpress.com/2008/01/19/satu-umat-islam-satu-kalender-Hijriyah/), tulisan tersebut cukup berkaitan dengan tulisan ini, oleh karena itu penulis merekomendasikan para pembaca dapat melihat dan membaca tulisan tersebut, Insya Allah bermanfaat, amiin.

    Update History :

    • 2 Ramadhan 1431 H / 12 Agustus 2010 :: tulisan versi terbaru (versi 4) ini selesai dan dipublikasi pada tanggal tersebut. Banyak perbaikan dan penambahan pada tulisan versi sebelumnya hingga akhirnya menjadi versi terbaru ini, dan penulis tidak menyangka sebelumnya bahwa tulisan versi baru ini jadi berjumlah lebih dari 20-an halaman A4. Qadarullah walhamdulillah. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada beberapa narasumber yang telah menjawab beberapa pertanyaan penulis yang berkaitan dengan tulisan ini, jazahumullah.

    • Muharram 1431 H :: Banyak perbaikan dan penambahan pada versi 3 ini. Versi ini tidak dipublikasi.

    • 27 Ramadhan 1430 H / 17 September 2009 :: draft perbaikan versi terbaru selesai dibuat

    • 18 Syawwal 1429 H / 17 Oktober 2008 :: Terdapat beberapa perbaikan kata/kalimat.

    • 13 Jumada al-Awwal 1429 H / 18 Mei 2008 :: Terdapat beberapa tambahan dan perbaikan untuk menyempurnakan tulisan ini. Sebenarnya penulis telah memiliki keinginan membuat perbaikan dan penambahan tulisan ini pada saat menjelang Ramadhan 1429 H, tapi karena qadarullah lalu ada beberapa penyebab lagi, penulis dapat menyempatkannya pada pertengahan bulan Jumada al-Awwal 1429 H ini. Alhamdulillah. Ini adalah versi 2.

    • 01 Syawwal 1428 H / 12 Oktober 2007 :: Sedikit perbaikan pada tahun Hijriyah.

    • 21 Ramadhan 14278 H / 03 Oktober 2007 :: Publikasi di Colors of Johohoho.

      Tulisan yang dipublikasi di Colors of Johohoho ini telah mengalami proses perbaikan, dan terdapat beberapa bagian yang tidak jadi dipublikasikan/dihapus disebabkan beberapa pertimbangan. Terima kasih kepada orang-orang yang sudah membaca tulisan versi awal (sebelum publikasi) dan memberikan komentar, saran, dan kritik tentang tulisan awal tersebut kepada penulis sehinga menjadi tulisan seperti yang sudah dipublikasikan ini. Jazakumullah.

    • … < 21 Ramadhan 14278 H / 03 Oktober 2007 :: Tulisan sebelum dipublikasi.

    1Pengertian Hilal tersebut dapat sama/mirip dengan pengertian Hilal menurut sebagian pengguna/ahli hisab, entah definisinya ditambah atau tidak ditambah, misalnya ditambah kriteria telah terjadi ijtima`, sehingga pengertian Hilal menjadi “bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam dan setelah terjadi ijtima`”, dan bisa ditambah kriteria lain menurut metode hisab yang dipakai. Pengertian Hilal tersebut dapat juga berbeda menurut sebagian pengguna/ahli hisab yang lain, misalnya pengguna hisab (Muhammadiyah) yang berpendapat Hilal adalah “Penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah ijtima`”

    2Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang waktu Hilal muncul dan terlihat, ada yang berpendapat 15-20 menit, 10-40 menit, tidak lebih dari 30 menit, 10-60 menit, dll. 10-40 menit adalah pendapat yang dipilih penulis.

    3Sistem perhitungan bulan yang berdasarkan periode waktu Bulan mengelilingi Bumi, satu bulan = 29 atau 30 hari, satu tahun = 12 bulan. Nama bulan Qamariyah secara berurutan : Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabiu’ts Tsani, Jumadil ‘Ula (Jumadil Awwal), Jumadil Ukhra (Jumadits Tsani), Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.

    4Ini adalah pendapat Jumhur fuqaha (ahli fiqh).

    6Walaupun pada definisi yang penulis sebutkan ru’yah dapat dilakukan dengan mata langsung atau melalui alat bantu, pada faktanya, ada sebagian kaum Muslimin yang berpendapat bahwa ru’yah tidak boleh memakai alat bantu, ru’yah seharusnya dilakukan dengan mata telanjang, serta berpendapat bahwa memakai alat bantu dalam ru’yah Hilal merupakan takalluf (suatu perbuatan yang memberat-beratkan diri sendiri).

    7Ada sebagian yang berpendapat bahwa masih ada satu cara lagi, yaitu melalui kesaksian ru`yah. Penulis tidak memasukkan “kesaksian ru’yah” ke dalam beberapa cara menentukan Hilal karena kesaksian ru’yah muncul dari orang yang telah melihat Hilal. Kesaksian ru’yah akan penulis bahas di sub bab L.1. ru’yah

    8Penjelasan lebih lanjut tentang faktor ini akan dibahas pada sub bab L.2. hisab.

    9Lihat beberapa buku A. Hassan seperti Soal Jawab Agama; terjemahan dan keterangan A. Hassan dalam Kitab Bulughul Maram Ibnu Hajr Al-Asqalani.

    10Kriteria “bulan terbenam setelah matahari terbenam” dikenal juga dengan nama metode hisab wujudul Hilal.

    11Ini adalah pendapat sebagian fuqaha Hanafi.

    12Metode hisab yang diusulkan Jamaluddin Abdurrazaq adalah : Jika J >= 00.00 WU & J<12.00 WU, maka tanggal 1 bulan baru = H+1. Jika J >=12.00 WU & J<24.00, maka tanggal 1 bulan baru=H+2. J=Jam Ijtima`, H=Hari. Metode ini memang sangat mirip dengan metode yang diusulkan Khalid Asy-Syaukat, yang membuat berbeda adalah menurut Jamaluddin Abdurrrazaq hari dalam bulan Qamariyah dimulai sejak tengah malam (00.00) sesuai dengan sistem waktu internasional, sedangkan Khalid Asy-Syaukat mengikuti definisi hari menurut jumhur fuqaha (sejak tenggelam matahari).

    13Di antaranya ijtima` sebelum tengah malam di Makkah atau di Madinah; ijtima` sebelum zawal di Makkah;dll,

    14sudut antara dua benda langit di lihat dari bumi, terutama sudut antara bulan dan matahari; jarak (lengkung) bulan dari matahari.

    15PERSIS adalah organisasi Islam yang pernah menggunakan metode hisab wujudul Hilal dan imkanur ru’yah, dan PERSIS beberapa kali mengubah kriteria hisab yang dipakai, wujudul Hilal → imkanur ru’yah → wujudul Hilal → imkanur ru’yah. Dan metode hisab yang dipakai PERSIS saat ini adalah metode imkanur ru’yah bukan wujudul Hilal.

    16Kriteria Audah juga menentukan kriteria ini dengan parameter lebar Hilal dan busur ru’yah yang dituangkan dalam daftar tingkat imkanur ru’yah

    17Di antaranya kriteria Maunder (elongasi 11 derajat) , Fotheringham (elongasi 12 derajat), dll.

    18Yaitu garis yang memisahkan beberapa zona bumi yang satu di antaranya Hilal lebih dahulu terlihat, sedangkan zona bumi yang lain Hilal belum terlihat. Contoh ahli hisab yang menerapkan metode imkanur ru’yah dengan ILDL adalah Muhammad Ilyas (Malaysia), yang pada metode hisabnya memakai parameter ketinggian relatif geosentrik dan azimut relatif yang juga menerapkan garis tanggal Hijriyah.

    19Bagian M ini sampai bagian O adalah pendapat penulis. Pembaca bebas menentukan sikapnya terhadap pendapat penulis apakah setuju atau tidak setuju. Dan bagi pembaca yang ingin berdiskusi, silakan memberikan pendapatnya di kolom komentar.

    20Hal yang membuat aneh (negatif) adalah : pihak yang menganggap hisab dalam penentuan Hilal adalah bid`ah, ternyata mereka menggunakan hisab untuk waktu shalat fardhu 5 waktu, ini artinya merekapun mengakui bahwa penggunaan hisab adalah benar dan boleh. Waktu shalat yang sebelumnya hanya dapat diketahui dengan cara melihat perubahan posisi matahari (dengan kata lain ru’yah syamsu/melihat matahari), tetapi dengan adanya ilmu hisab, jadwal shalat bisa dibuat dengan suatu metode hisab tertentu untuk seluruh tempat di dunia yang selanjutnya bisa digunakan tanpa harus melihat posisi matahari lagi. Kenapa hisab jadwal shalat bisa digunakan di seluruh dunia (terlepas dari metode hisab shalat yang dipakai dan terlepas dari kontroversi yang menyatakan ada jadwal waktu shalat yang terlalu cepat) ? Karena perhitungan hasil hisab –Insya Allah– sama (atau setidaknya hanya selisih sedikit saja beberapa menit) dengan hasil melihat langsung posisi matahari untuk menentukan waktu shalat. Sebaliknya, jika ternyata pihak yang menganggap hisab dalam penentuan Hilal adalah bid`ah ketika shalat mereka sama sekali tidak menggunakan hisab, melainkan tetap ru’yah, maka mereka konsisten dengan pendapat mereka dan kekonsistenan mereka dapat dipuji walaupun penulis tidak sependapat dengan mereka.

    21Menurut penulis, mereka lebih condong dengan metode hisab imkanur ru`yah daripada metode ru’yah, sehingga mereka belum maksimal dalam memadukan metode hisab dengan metode ru’yah. Ru’yah hanya seperti suatu formalitas saja yang diperbincangkan pada setiap sidang itsbat.

    22Apakah semua tempat strategis dalam melihat Hilal di Indonesia akan terjangkau oleh orang Depag, lebih banyak mana antara orang Depag yang diperintahkan melihat Hilal dengan umat Islam Indonesia yang juga berpotensi untuk dapat melihat Hilal? Tentu saja jika banyak umat Islam Indonesia yang paham masalah ru’yah dan menyempatkan waktu mereka untuk ru’yah Hilal, maka mereka lebih banyak dan lebih berpotentsi daripada orang yang ditugaskan untuk melihat ru’yah.

    23Peristiwa langka ini pernah terjadi pada tanggal Idul Fithri 1430 H, yaitu pada kalender Idul Fithri 1 Syawwal 1430 H jatuh pada tanggal 21 September 2009, tapi hal itu diubah oleh pemerintah saat akhir bulan Ramadhan 1430 H menjadi tanggal 20 September 2009

    24Tahun 1427 H dan 1428 H adalah dua contoh tentang hal ini (awal Syawwal dan Dzulhijjah yang dipakai pemerintah RI berbeda dengan yang dipakai banyak negeri Muslim).

    25Pada tulisan versi lama (sebelum versi baru ini, alias sebelum tahun 1431 H) penulis tidak mencantumkan Hizbut Tahrir sebagai contoh ORMAS yang berpegang pada pendapat satu ru’yah untuk semua negeri. Pada tulisan versi baru ini penulis menyebutkan Hizbut Tahrir, dan ini sekaligus sebagai ralat atas kesalahan penulis dalam penyebutan contoh ORMAS pada tulisan versi lama. Penulis mohon maaf atas kesalahan tersebut.

    26Di antara dalil yang mendukung argumen pendapat penentuan Idul Adha (otomatis penentuan bulan Dzulhijjah) mengikuti penguasa Makkah (pada saat ini pemerintah Arab Saudi) adalah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu `Alahi Wasallam telah melarang shaum pada Hari Arafah, di Arafah (HR. Abu Dawud dll)” yang berarti disunnahkan untuk shaum pada Hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji. Hari Arafah adalah hari ketika jamaah haji wukuf di Padang Arafah sehingga hari Arafah itu hanya satu.

    27Penulis menyebutkan sebagian karena pada faktanya tidak semua kelompok salafi berpendapat seperti itu, sebagian lagi tetap berpendapat bahwa shaum Arafah dan Idul Adh-ha tetap mengikuti keputusan pemerintah.

44 responses to this post.

  1. –..Mau kasih sedikit komentar aja syusyah banget..–

    Tulisannya udah lebih lengkap dari sebelum di revisi ya 🙂

    Semoga Idul Fitri 1428 H yang tinggal beberapa hari nanti bisa dirayain secara serentak [khususnya di Indonesia] berbarengan dengan negara-negara yang juga merayakannya.. 🙂

    Oya, karena buatku tulisan ini bermanfaat, jadi boleh ya kalo ku print untuk arsip pribadi?

    ^_^v

    Reply

  2. makasih buat yang udah nulis, berguna banget nih.
    tahun ini dan tahun kemarin saya ikut ke pendapatnya muhammadiyyah. Walowpun tahun kemarin sholatnya ikutan pemerintah…. susah buat orang awam kaya saya, buat saya yang penting ijtihad pribadi aja lah… yang penting ada dasarnya.
    Tahun ini insyaallah ikut sholatnya besok sama grup muhammadiyyah, susahnya masyarakat Indonesia kebanyakan mengasosiasikan kita + yang kita perbuat dengan ormas tertentu. Kaya saya sekarang diasosasikan ma muhammadiyyah, padahal saya lahir dan besar dilingkungan NU / tradisional tapi emang ngga ngerasa saya ini NU (apalagi Muhammadiyyah)…
    Buat saya yang penting saya ngejalanin apa yang udah disuruh (kalo belum bisa yang ibadah sunah, yah yang wajib-wajib dulu deh)…

    sekali lagi makasih buat penulis, kalo bisa hal ini bisa disebarluaskan, karena biar umat islam Indonesia tuh ngga cuma sekedar ngikutin tapi juga ngerti…

    Reply

  3. mas sekarang secara nyata saja….mungkinkah ada bulan purnama dua kali didunia ini dalam satu bulan hijriyah…kalau ada berarti hilal bisa muncul satu kali…dua kali.. tergantung yang lihat…tapi kalau tidak …berlakunya hilal hanya satu hari dan semua masyarakat muslim dunia harus merujuk kepadanya.

    Reply

  4. Posted by Yusuf KS on October 12, 2007 at 3:24 am

    @ Ulan :
    Semua komentar menunggu persetujuan (approve) sebelum ditampilkan di web blog ini. Jangan khawatir, semua komentar non-spam akan disetujui, Insya Allah.

    .

    Sayang sekali tahun ini seperti tahun lalu, Idul Fithri di Indonesia tidak berbarengan. Keputusan resmi pemerintah RI hari sabtu, tetapi beberapa ORMAS Islam berpendapat hari Jumat. Dan seperti tahun lalu juga, Idul Fithri 1428 versi pemerintah RI berbeda dengan Idul Fithri di kebanyakan negara muslim di dunia (lihat post terbaru saya yang berisi informasi hari Idul Fithri 1428).

    .

    Tulisan ini boleh disebarkan dengan menyebutkan sumbernya (URL), apalagi untuk dicetak untuk pribadi [lebih boleh lagi :)].

    @ trian :

    Kebanyakan muslim Indonesia hanya mengikuti pendapat pemerintah tanpa mengetahui kenapa pemerintah berpendapat seperti itu. Jika mereka mengetahui ada ORMAS/orang yang merayakan Idul Fithri yang berbeda, maka mereka berprasangka kurang baik, padahal mereka belum mengetahui dalil/dasar yang dipakai oleh ORMAS/orang yang merayakan Idul Fithri yang berbeda itu. Seandainya masyarakat kita lebih terbuka dan mau untuk belajar (mencari tahu kemudian berpegang pada suatu pendapat dengan dalil/dasar itu kemudian mengamalkannya), hal yang seperti dikeluhkan mas/mbak trian tidak akan terjadi (atau setidaknya akan mengurangi kejadian tersebut).

    Lagipula, bukan hanya Muhammadiyah saja yang berpendapat seperti itu, tetapi masih ada cukup banyak ORMAS lain dan juga ada banyak muslim yang tidak mengikuti suatu ORMAS Islam tetapi berpendapat sama (karena sudah mengetahui dalil/dasarnya dan berpegang pada pendapat tersebut).

    .

    Ya, betul. Setiap muslim diharuskan untuk mengerjakan amal/ibadah-ibadah wajib dengan sebaik-baiknya [ikhlas+ittiba]. Setelah itu, setiap muslim bisa melengkapi amal mereka dengan amalan sunnah yang mereka ingin kerjakan dengan sebaik-baiknya.

    .

    Tulisan ini sudah saya kirim ke suatu majalah Islam di Indonesia, tetapi saya tidak tahu apakah majalah Islam tersebut mau menampilkan tulisan ini. Untuk saat ini, tulisan ini baru ada di web blog ini saja. Jika ada orang yang ingin menyebarkan tulisan ini, tentu saja diperbolehkan dengan syarat menyebutkan sumbernya (URL).

    @ Budi

    Betul mas Budi. Dan jika hal ini sudah diketahui oleh para pemimpin, maka seharusnya setiap pemimpin negeri muslim mau berdiskusi untuk menentukan hilal yang sama untuk umat Islam di seluruh dunia.

    Reply

  5. Posted by =aPuT= on October 12, 2007 at 9:13 pm

    bgus nih…

    paling ga cukup megusir kebinguan gw…

    Reply

  6. Posted by Yusuf KS on October 14, 2007 at 11:11 pm

    Article’s update Info :

    Terdapat beberapa kesalahan penulisan kata dalam tulisan saya ini, salah satu kesalahan yang paling fatal adalah penulisan tahun 1426 H yang seharusnya adalah tahun 1427 H. Jika Anda yang membaca/download tulisan saya ini sebelum tanggal 14 oktober 2007, mohon perhatikan bahwa semua kata “1426 H” yang ada pada tulisan tersebut seharusnya ditulis “1427 H”. Demikian ralat saya, terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberitahukan beberapa kesalahan penulisan kata dalam tulisan ini.

    Reply

  7. […] Beberapa bagian pada tulisan ini berkaitan erat dengan tulisan penulis sebelumnya yang berjudul Penentuan Hilal dengan Ru’yah dan Hisab. Bagi Anda yang belum sempat membaca tulisan tersebut, penulis sarankan untuk membacanya sebelum […]

    Reply

  8. Assalamu’alaikum Warahmatullai Wabarakatuh,

    Kami sependapat dengan perhitungan hisab yang dilaksanakan oleh Muhamadiyah, sebagaimana dapat dilihat pada tayangan berikut ini, silakan klik : http://www.liputan6.com/news/?%20c%20id=3&id=131308

    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Mugijono

    Reply

  9. Bagi yang tertarik ingin melakukan hisab ramadhan 1429H namun tidak memiliki ilmu untuk itu, silakan datang ke blog saya:

    http://rachmadi78.multiply.com , anda bisa download software yang saya develop sudah sampai versi 4.

    Reply

  10. DARI ALBI FITRANSYAH

    UMAT ISLAM SELURUH DUNIA, GUNAKANLAH RUKYAT KOTA

    KONSEP RUKYAT KOTA YANG TERINTEGRASI SELURUH KOTA-KOTA DI DUNIA

    Assalamu’alaiukum.
    Saya seorang pengamat astronomi & seorang matematika.
    Berdasarkan pemahaman saya & kesepakatan dari ahli astonomi muslim , bahwa ada beberapa ketentuan internasional mengenai penanggalan islam , yaitu:

    1. Rukyat hilal
    adalah dasar pergantian bulan-bulan qamariyah.

    2. Pola pergerakan Bumi, Bulan, dan Matahari telah menyebabkan belahan Bumi yang pertama kali mengalami rukyat hilal selalu berubah-ubah setiap bulan.

    3. Umur bulan qamariyah secara syar’i adalah 29 atau 30 hari.

    4. Umur tanggal adalah setara dengan umur hari, yakni 24 jam , karena tidak logis ada tanggal yang umurya hanya beberapa jam saja atau adanya keragu-raguan, sebanarnya setelah lewat maghrib, masih tanggal berapa sih? Apa sudah tanggal baru atau masing tanggal lama.

    5. Saat pergantian tanggal di dalam kalender qamariyah adalah pada waktu ghurub Matahari .

    Dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Lirboyo tahun 1999, rukyat internasional menjadi salah satu agenda bahasan Bahtsul Masail Diniyah. Permasalahannya adalah apakah boleh penentuan awal bulan qamariyah atau hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, didasarkan atas rukyat internasional?
    Dengan pendekatan fiqh, muktamirin memutuskan bahwa penggunaan rukyat internasional untuk penentuan awal bulan qamariyah dengan mengenyampingkan batas-¬batas matla’ tidaklah dibenarkan.

    Di dalam wacana fiqh, jawaban untuk masalah ini diwakili oleh dua teori, yakni teori ittifaq al-Matali’ yang disusun oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, dan teori ikhtilaf al-Matali’ yang dibangun oleh mazhab Syafi’i. NU, sebagai ormas keagamaan Islam yang akrab dengan belukar pemikiran fiqh mazhab Syafi’i, tentu saja condong berpegang pada teori ikhtilaf al-mntali’.
    Menurut teori ittifaq al-Matali’, peristiwa terbit hilal yang dapat dirukyat dari suatu kawasan Bumi tertentu mengikat seluruh kawasan Bumi lainnya di dalam mengawali dan menyudahi puasa Ramadhan. Dasarnya ialah bahwa sabda Nabi Muhammad SAW: Sumu liru’yatihi… (berpuasalah kalian karena melihat hilal), itu ditujukan untukseluruh umat secara umum, sehingga apabila salah seorang dari mereka telah merukyat hilal, di belahan Bumi mana pun ia berada, maka rukyatnya itu berlaku juga bagi mereka seluruhnya.
    Sedangkan menurut teori ikhtilaf al-Matali’, rukyat hilal itu hanya berlaku untuk kawasan rukyat itu sendiri dan untuk semua kawasan lainnya yang terletak di sebelah baratnya. Sedangkan untuk sebelah timurnya, rukyat hilal itu hanya berlaku bagi kawasan yang berada di dalam atau tidak melampaui ¬batas matla’.

    Rukyat di suatu kawasan, menurut teori ini, tidak dapat diberlakukan untuk seluruh dunia karena, pertama, berdasarkan riwayat Kuraib yang ditakhrij oleh Imam Muslim, bahwa Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada rukyat penduduk Syam kendati telah diisbat oleh khalifah Mu’awiyah. Ibnu Abbas mengemukakan alasan, Hakadza Amarana Rasulullah (Begitulah Rasulullah menyuruh kami). Kedua, adanya perbedaan terbit dan terbenam Matahari di pelbagai kawasan di Bumi menyebabkan tidak mungkin seluruh permukaan Bumi disamaratakan sebagai satu matila’.
    Karena “ajaran” perbedaan matla’nya inilah, teori ikhtilaf al-Matali’ dengan mudah dipersepsi sebagai biang terjadinya perbedaan hari dalam memulai maupun mengakhiri puasa Ramadhan di berbagai kawasan di Bumi. Bahkan, lebih jauh, teori ini pun kemudian dituding sebagai pemicu perpecahan umat
    Maka, dalam beberapa tahun terakhir ini muncul di kampus-kampus gerakan untuk memasyarakatkan teori ittifaq al-Matali’ (kesatuan matla’ intemasional) yang diharapkan menjadi jurus pamungkas pemersatu awal dan akhir Ramadhan di seantero dunia. Malah bila perlu, untuk menuju kesatuan waktu ibadah tersebut kaum muslimin digalang untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan Islam sejagat (khilafah).
    Tapi persoalannya, logiskah perintah Nabi SAW, Sumu liru’yatihi… itu difahami sebagai dalil yang menghendaki berlakunya rukyat secara intemasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihatnya dengan pendekatan yang proporsional.

    Pertama, kiranya kita sepakat bahwa hadis kandungan di atas adalah petunjuk tentang penentuan waktu memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Karena berkenaan dengan waktu, maka pemahaman akan implementasinya haruslah menggunakan logika sistem perjalanan waktu, bukan logika pengertian bahasa.

    Kedua, sunnatullah tentang sistem perjalanan waktu di Bumi adalah bersifat setempat-setempat (lokal), tidak bersifat global. Waktu di Bumi mengalir dari timur ke barat sejalan dengan aliran siang dan malam. Kawasan di timur mengalami syuruq dan ghurub Matahari lebih dulu daripada kawasan di barat. Semakin jauh jarak barat-timur antar kedua kawasan, semakin besar beda waktu antara keduanya. Maka, orang yang melakukan perjalanan jauh, melepaskan diri kawasan tinggalnya, akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan beda waktu.
    Dengan begitu, semua waktu yang disebut di dalam dalil-dalil syari’at logisnya adalah dipahami sesuai logika sistem perjalanan waktu di Bumi yang bersifat setempat-setempat itu. Kalau pada saat ghurub Matahari di Indonesia hilal belum bisa dirukyat, adalah tidak logis kalau kita kemudian mengikuti rukyatnya orang Mekah. Sama persis tidak logisnya dengan memahami masuknya waktu Zuhur untuk Indonesia pada kira-kira pukul 4 sore karena mengacu pada “tergelincir Matahari” nya Mekah, atau pada kira-kira pukul 10 pagi karena mengikuti “tergelincir Matahari”nya Tokyo.

    Kasus:

    a. Dalam kaitannya dengan penampakan hilal, di Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2007 terdapat 2 daerah yang dipisahkan oleh sebuah garis, sebut saja garis batas wujdul-hilal untuk mudahnya(lihat gambar).

    b. Daerah sebelah barat garis batas wujdul-hilal dipastikan (insya Allah) hilal sudah dapat dilihat.

    c. Daerah sebelah timur garis batas wujdul-hilal dipastikan (insya Allah) hilal belum dapat dilihat.

    Dengan demikian bila rukyat dilakukan di Jakarta (sebelah barat garis batas wujdul-hilal) pada tanggal 11 Oktober 2007 di waktu magrib, maka hasilnya menyimpulkan bahwa besoknya (tanggal 12 Oktober 2007) adalah 1 Syawwal 1428 H. Tetapi kalau rukyat itu dilakukan di Samarinda atau Menado atau Ambon yang letaknya di sebelah timur garis batas wujdul-hilal maka hasilnya, insya Allah, menyimpulkan bahwa besoknya (tanggal 12 Oktober 2007) belum 1 Syawwal.

    Butir kedua prinsip kesatuan wilayatul-hukmi essensinya mengatakan bahwa Muhammadiyah menganut prinsip “hanya ada satu Lebaran untuk satu negara”. Prinsip ini nampaknya dianut juga oleh kubu rukyat dan kubu Pemerintah. Buktinya, sepanjang sejarah kubu-kubu ini tidak pernah menetapkan dua daerah Lebaran di Indonesia. Catatan: Dua wilayah hari Raya tidak sama dengan hari Raya ganda. Hari Raya ganda maksudnya ada dua hari Raya untuk satu tempat.

    Isu Utama dan Isu Minor
    Sepanjang pengamatan kami, ada isu yang dihembuskan sebagai isu utama sebagai sumber perbedaan dalam menyimpulkan akhir/awal Ramadan, yaitu masalah definisi hilal. Isu ini minor karena kesepakatan dapat dilakukan dengan mudah jika kedua pihak-pihak yang berbeda pendapat ini keluar dan melihat hilal secara langsung dan sepakat benda itulah yang disebut hilal. Isu yang lebih utama lagi sebenarnya adalah prinsip kesatuan wilayatul hikmi. Secara kenyataan bahwa Indonesia tahun ini akan mempunyai dua zona penampakan hilal. Ini akan menimbulkan persoalan bukan saja bagi kubu hisab tetapi juga kubu rukyat kalau metodanya menggunakan prinsip kesatuan wilayatul hukmi. Lalu bagaimana menyatukannya? Apakah 1 Syawwal mengikuti daerah yang sudah ada penampakan hilal atau harus tunggu sampai semua daerah sudah ada penampakan hilal? Apapun keputusannya hasil akhirnya akan bersifat “tanpa dasar yang logis” (arbitrary). Jangan heran kalau pendapat ulama, bahkan imam mazhab berbeda-beda. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, kalender kamariah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara, inilah prinsip wilayatul hukmi. Sedangkan menurut Imam Hambali, kesamaan tanggal kamariah ini harus berlaku di seluruh dunia, di bagian bumi yang berada pada malam atau siang yang sama. Sementara itu, menurut Imam Syafi’i, kalender kamariah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan, sejauh jarak yang dinamakan mathla’. Inilah prinsip matlak madzhab Syafi’i.

    Yang menarik adalah pendapat Ibn Abbas, salah satu ulama yang pernah hidup di masa Rasullulah. Riwayat Kuraib yang diceritakan oleh Muslim bahwa Khalifah Mu’awiyyah di Damaskus shaum/puasa pada hari Jumat sementara Ibnu Abbas di Madinah shaum/puasa pada hari Sabtu. Ketika Kuraib bertanya kepada Ibnu Abbas kenapa tidak berbarengan saja dengan Mu’awiyyah, Ibnu Abbas r.a. menjawab : “Tidak, beginilah Rasulullah saw, telah memerintahkan kepada kami”. Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas tentu saja hadist nabi saw yang dikutip di atas. Padahal Damaskus dan Madinah waktu itu masih dalam satu wilayah hukum/satu kekhalifahan.

    Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada ayat al-Quran atau hadist yang bisa dikatakan memenuhi persyaratan cukup untuk menunjang konsep prinsip kesatuan wilayatul hukmi Ada hadist yang kadang diajukan sebagai dalil untuk penerapan prinsip kesatuan wilayatul hukmi, yaitu:

    Bahwa seorang Arab Baduwi datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Saya telah melihat hilal (Ramadhan)”. Rasulullah saw. lalu bertanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah?” Orang itu menjawab,’Ya.’ Kemudian Nabi SAW menyerukan: “Berpuasalah kalian” (HR. Abu Dawud, An Nasa`i, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

    Tetapi hadist ini tidak bisa memenuhi syarat cukup sebagai dasar argumen untuk penerapan prinsip kesatuan wilayatul hukmi. Dalam hadist ini tidak disebutkan adanya isu perbedaan zona penampakan hilal. Apakah orang badui ini melihatnya di tempat yang jauh dari Madinah (tempat tinggal rasullulah) yang memungkinkan adanya perbedaan zone penampakan hilal? Tidak ada penjelasan

    Dengan kata lain, dasar hukum penggunaan prinsip kesatuan wilayatul hukmi tidak ada mempunyai persyaratan yang cukup. Para mazhab tidak punya kesamaan dan tidak diatur dalam hadist atau al-Quran.

    Pertama harus diakui bahwa tidak benar cara hisab dan rukyat adalah isu utama dari perbedaan hasil penentuan 1 Syawwal.

    Kedua harus diakui bahwa prinsip kesatuan wilayatul-hukmi adalah salah tempat dan salah applikasi. Prinsip kesatuan wilayatul-hukmi sebagai opini ulama, tidak bisa membatalkan hadist untuk menentukan akhir puasa (shaum) atau al-Quran untuk menentukan tanggal. Oleh sebab itu di Indonesia yang wilayahnya membentang sangat lebar (5,271 km) dan luas (1,919,440 km persegi) tidak mungkin selalu diberlakukan 1 hari Lebaran, tanpa melanggar juklak dari rasullulah (hadist nabi) dan pedoman al-Quran. Kadang-kadang Lebaran di Jakarta dan di Menado berbeda. Seperti halnya waktu sholat, waktu puasa dan Iedul Fitri tidak perlu sama untuk semua wilayah republik Indonesia. Jadi tahun ini ada dua wilayah Iedul Fitri di Indonesia, bukan dua Lebaran. Wilayah pertama adalah sebelah barat garis batas wujdul-hilal seperti kepulauan Tanibar, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat serta daerah-daerah di sebelah baratnya akan berhari Raya pada tanggal 12 Oktober 2007. Selebihnya dibagian timur akan berhari Raya pada tanggal 13 Oktober 2007).

    Kesimpulan:

    1. Di dalam kalender Islam terdapat garis tanggal wujudul hilal dan visibilitas hilal, yang dapat membelah bumi dengan posisi kemiringan tertentu. Sehingga selalu, dari batas garis wujudul hilal tersebut ke arah barat , kemungkinan melihat hilal semakin mungkin.

    2. Garis tanggal pembeda di atas pada setiap bulan dalam penanggalan Islam akan berubah-ubah letak dan posisinya. Jadi, bisa saja membelah suatu negara yang sangat luas.

    3. Seharusnya, dalam menentukan awal bulan, dalam hal ini penanggalan Islam, hendaknya saya mengusulkan agar, membuat DAFTAR KOTA-KOTA YANG SUDAH MASUK TANGGAL 1 ATAU BELUM. Misal:

    -Daftar kota-kota di seluruh dunia yang sudah masuk tanggal 1 adalah:
    Jakarta, Tanggerang, Pontianak, Padang, Medan, Aceh, Kuala Lumpur, Penang, Bangkok, New Delhi, Jeddah, Riyadh, Mekkah, Madinah, Kairo, London, dan seterusnya sampai ke barat sampai bertemu di titik garis wujudul hilal kembali>

    -Daftar kota-kota di seluruh dunia yang belum masuk tanggal 1 adalah:
    Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Ujung Panjang, Jayapura, Tokyo, terus ke barat sampai bertemu di titik garis batas wujudul hilal tadi

    Sehingga, saya atas nama ahli falaq mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia, Departemen Agama RI, agar jika garis tanggal Wujudul hilal dan visibilitas hilal melewati Negara Indonesia, maka harus dilakukan pembagian wilayah waktu tanggal, seperti disebutkan sebelumnya.

    4. Tidak menjadi masalah dalam 1 negara terdapat 2 penanggalan yang berbeda . Tetapi dalam 1 kota diharuskan berada pada hari yang sama.

    5. Berdasarkan garis wujudul hilal dan visibilitas hilal di atas, kota-kota yang belum dapat melihat hilal tadi pada Ghurub Maghrib di tempat terbitnya hilal pertama kali, secara ilmiyah, pasti besoknya pada Ghurub matahari hari berikutnya pasti hilal akan nampak juga.

    6. HIZBUT TAHRIR, adalah salah. Jika kita akan menggunakan penanggalan apapun, pastinya harus ada garis tanggal yang membelah bumi menjadi 2 bagian yang berbada.

    7. HIZBUT TAHRIR telah mencampur adukkan penanggalan Islam dengan penanggalan Masehi.

    8. HIZBUT TAHRIR tidak memahami syarat-syarat penanggalan.

    9. Dengan menggunakan dan mengetahui garis tanggal wujudul hilal, maka tidak akan mengalami kekacauan penanggalan.

    10. Meskipun dunia telekomunikasi, internet, satelite, telah maju, sehingga seluruh dunia dapat menerima kabar hilal di suatu tempat, maka :
    JANGAN MEMEBRIKAN INFORMASI MUNCULNYA HILAL DI SUATU KOTA KEPADA ORANG YANG BERADA DI SEBELAH TIMUR.
    BERITAKANLAH KABAR MUNCULNYA HILAL KEPADA KOTA-KOTA YANG BERADA DI SEBELAH BARATNYA.

    11. Bumi adalah bulat. Tidak Datar.

    12. Jika tidak ada garis tanggal wujudul hilal dan visibilitas hilal, maka akan kacaulah penanggalan islam yang digunakan.

    13. HIZBUT TAHRIR TIDAK MEMAHAMI KAJIAN ILMIYAH ASTRONOMIS YANG ADA

    14. Seperti halnya, jadwal sholat, yang mana setiap kota di seluruh Indonesia berbeda-beda. Di Jakarta, maghrib jam 18.00 WIB, sedangkan di Bandung maghrib jam 17.55 WIB. Di Jogja maghrib jam 17.46 WIB.
    Jadi, dalam hal ini wujudul hilal sebagai pembelah bumi juga harus ada.
    15. Dilema yang muncul bila sistem hilal global dipergunakan sebagai acuan adalah pada awal dan akhir ibadah shaum, di bagian timur garis pergantian bulan umat Islam akan berpuasa sebelum waktunya (hilal penentu awal shaum belum ada). Bila awal shaum menunggu pengamat bagian barat dapat melihat hilal, berarti sebagian umat Islam di sebelah timur akan memulai puasa selepas fajar subuh bahkan setelah terbit matahari. Sebaliknya bisa terjadi sebagian Muslim di barat memulainya selepas fajar subuh sehari sebelumnya, bila hilal telah berhasil diamati di bagian timur garis tanggal.

    MATEMATIKAWAN, & PENGAMAT ASTRONOMI MUSLIM, ALBI FITRANSYAH,S.Si

    Reply

  11. ALBI FITRANSYAH,S.Si.
    KEBENARAN RUKYAT LOKAL KOTA YANG TERINTEGRASI
    KEKELIRUAN RUKYAT GLOBAL YANG TIDAK ILMIYAH
    BUMI ADALAH BULAT

    Pernyataan:
    1. Terima kasih atas masukan dan bimbingan dari komentarnya.
    2. Mungkin ke depan saya tidak akan mencantumkan salah satu Organisasi/Partai Politik tertentu dalam tulisan saya.
    3. Saya mengemukakan wacana seperti ini, justru karena saya ingin agar “UMAT ISLAM DI SELURUH DUNIA MENGGUNAKAN 1 PERHITUNGAN KALENDER ISLAM SECAR TERINTEGRASI”.
    4. Kita telah mengetahui bahwa “JAWAL SHALAT” untuk 1 kota berbeda dengan kota lainnya baik dalam 1 negara, maupun negara lainnya.
    5. Patokan inilah yang menjadi wacana saya untuk senantiasa menjadi patokan “PENETUAN AWAL BULAN”, karena dari situlah “HILAL=SABIT BULAN” pertama terlihat di suatu kota.
    6. Bukan berarti dengan berkembangnya “TEKNOLOGI INFORMASI”, berarti kita dapat menyamakan 1 dunia ini dengan “SATU TANGGAL” yang sama.
    7. Dengan kehadiran “TEKNOLOGI INFORMASI” ini diharapkan masyarakat dunia “LEBIH MENGETAHUI” kapan awal bulan di mulai.
    8. Mengingat “SETIAP BULANNYA” di dalam kalender Islam “GARIS TANGGAL PEMBELAH BUMI” ini berbeda-beda lokasinya, maka seharusnya dibuat “BADAN HISAB DAN RUKYAT DI SELURUH DUNIA YANG BERADA DI SETIAP KOTA-KOTA SEANTERO DUNIA INI”.
    9. Informasi yang disampaikan kepada ummat(warga) berlaku untuk ummat Islam dalam 1 kota saja. Hal ini dapat berlaku juga seperti penentuan “JADWAL SHALAT HANYA UNTUK 1 KOTA SAJA”.
    10. Contoh: Di kota Bandung Adzan Maghrib berkumandang pukul 17.41 WIB. Tenyata “BADAN HISAB RUKYAT YANG TERINTEGRASI SELURUH KOTA-KOTA DUNIA” tidak berhasil melihat hilal di kota bandung. Maka “DEPAG RI di pusat secapatnya pada waktu yang “up date” dapat memberikan pengumuman bahwa kota Bandung besok belum masuk tanggal 1 di bulan Islam. Namun, di kota Jakarta hilal muncul pada pukul 17.45 WIB. Ini berarti Adzan Maghrib di Jakarta berkumandang pukul 17.45 WIB. Namun di kota Bandung. Depag RI bisa memutuskan bahwa esok Jakarta sudah masuk tanggal 1 di bulan Islam.
    11. TIDAK MENJADI MASALAH DI SAUDI ARABIA, DI INDONESIA, ATAUDI JEPANG BAHWA PDA HARI/TANGGAL MASEHI YANG SAMA TERDAPAT HARI/TANGGAL HIJRIYAH YANG BERBEDA. HENDAKNYA JUSTRU HARUS DI BALIK. DALAM 1 KALENDER ISLAM YANG SAMA DALAM SATU KOTA MEMILIKI HARI/TANGGAL YANG BERBEDA UNTUK KALENDER MASEHI.
    12. Seharusnya, “BADAN HISAB DAN RUKYAT TERINTEGRASI DI KOTA-KOTA DI SELURUH DUNIA” ini memiliki “DAFTAR KOTA-KOTA BESAR DI SELURUH DUNIA, SELAIN MENCANTUMKAN TANGGAL DALAM KELENDER ISLAM”.
    13. Nampaknya penulis yang paling pertama hanya melihat dengan tanpa memahami penanggalan secara astronomis. Nampaknya beliau tidak sadar bahwa ternyata: “DALAM WAKTU YANG SAMA, DI SELURUH DUNIA INI DAPAT MEMILIKI 2 HARI/TANGGAL YANG BERBEDA 1 HARI”. Misal: antara 1 lokasi dengan lokasi.
    14. Saran saya: “SEHARUSNYA, UMMAT ISLAM DI SELURUH DUNIA JUGA MEMILIKI “HARI HIJRIYAH”. Sehingga, menurut wacana saya, SEHARUSNYA TERDAPAT “HARI HIJRIYAH=TANGGAL HIJRIYAH”, bukan menggunakan “HARI MASEHI”.

    Telp: 0812 1479 212
    —————————————————————–
    AHLI MATEMATIKA, ASTRONOMI, DAN TEKNIK INFORMATIKA
    —————————————————————–

    Reply

  12. Dua komentar Albi di atas sudah saya jawab di : Bagian komentar #3 dan komentar 5 pada Satu Umat Islam satu kalender Hijriyah

    Reply

  13. Posted by Yusuf on September 25, 2008 at 9:54 am

    terus.. 1 syawal 1429 H, jatuh pada tanggal berapa ya ? 30 sept ato 1 okt ?

    terima kasih

    wassalam

    Reply

  14. Jika berdasarkan sebagian hisab astronomi, 1 Syawwal 1429 H = 1 Oktober 2008. Pemerintah RI juga menetapkan 1 Oktober 2008 karena tidak dapat melihat hilal. NU dan Muhammadiyah juga menetapkan 1 Oktober 2008. Mayoritas negeri yang berada di sekitar Indonesia juga menetapkan 1 Oktober 2008.

    Tapi ternyata Arab Saudi telah menetapkan 1 Syawwal 1429 H = 30 September 2008 dengan alasan telah melihat hilal (walau menurut sebagian hisab astronomi : Arab Saudi tidak mungkin melihat hilal pada hari Senin 29 September). Beberapa negara lain yang menetapkan 1 Syawwal 1429 H = 30 September 2008 adalah Uni Emirat Arab, Qatar, Turki, beberapa negera Eropa (Inggris, Swiss, etc), dll.

    Kemungkinan orang/kelompok/organisasi di Indonesia yang berpendapat satu ru-yah untuk semua negeri juga akan menetapkan 1 Syawwal 1429 H = 30 September 2008.

    Allahu a’lam.

    Reply

  15. Saya sependapat dengan tulisan anda tentang ru’yah dan hisab. Artinya kt menggunakan cara ru’yah, kalau sang hilal tak nampak maka genapkanlah menjadi 30 hari saum. Lah bagaimana Depag plus ormas sudah memutuskan bahwa lebaran tgl 1 Oktober sebelum mereka melihat hilal? Kalau mereka sdh mendengar disebagianm negara melihat hilaal, tp Indonesia keukeh lebaran hari Rabu/1 Oktober karena sudah kadung memutuskan. Begitukah? Gimana atuh puasa di bulan syawal? Bukankah ini menunjukan ego-is sentrik negara belaka? Prihatin memang. Klasik dan sangat repetitive thing. Salam

    Reply

  16. Posted by tania on October 7, 2008 at 9:51 am

    http://www.antara.co.id/arc/2008/9/30/ratusan-jamaah-muslimin-hizbullah-sholat-id/
    Di Filipin udah kelihatan hilal tgl 29 sept, berarti istilah mathla g’bisa dipakai lagi, tgl 1 syawal 30 September.

    Reply

  17. @ tania :
    Memang idealnya seperti itu (satu hilal untuk semua negeri), namun karena saat ini hampir setiap(pemimpin) negara ingin menentukan hilalnya sendiri, maka mereka tidak memperdulikan hasil ru-yah negeri lain dan mereka berpegang pada pendapat setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing.

    @ Teteh :
    Yap, dan karena keegoisan masing-masing (pemimpin) negara pula yang membuat hal yang memprihatinkan ini terus berulang. Solusi masalah ini antara lain sudah saya jelaskan di bagian P. Penutup tulisan ini : kesimpulan nomor 4. Juga pada tulisan
    Satu umat Islam satu kalender Hijriyah
    bagian M.

    Reply

  18. Syukron katsiron atas ilmunya smoga berkah

    Reply

  19. Tulisan antum amat baik. Saya memberikan apresiasi yang cukup tinggi. Mabruk alaik. Hanya saja perlu untuk dijelaskan secara agak lebih detil bagaimana cara kerja hisab dan ru’yah. Berapa derajat dalam pandangan ilmu hisab hilal sudah disebut masuk bulan berikutnya. Bagaimana bentuk hilal yang dijadikan pedoman oleh ru’yah dan sebagainya. Was.

    Reply

  20. @ ahsalcyber :
    Afwan.

    @ muhammad qorib : Jazakallah. Insya Allah saya akan menjelaskan hal tersebut pada saat update tulisan ini (dalam proses pengerjaan) walau mungkin tidak terlalu detil dan tidak semua hal dibahas.

    Reply

  21. Alhamdulillah tulisan “penentuan hilal dengan ru’yah dan hisab” sudah saya perbaharui lagi. Banyak perbaikan dan penambahan pada tulisan versi sebelumnya hingga akhirnya menjadi versi terbaru ini.

    Bagi orang yang sudah membaca tulisan ini sebelum versi baru ini (sebelum 2 Ramadhan 1431 H), maka saya sarankan untuk membaca tulisan versi baru ini, entah membaca via weblog atau via pdf yang sudah saya sertakan link downloadnya.

    Jika Anda merasa kurang nyaman dalam membaca tulisan ini di weblog, maka saya sarankan untuk membaca tulisan ini dalam format pdf dengan cara download link pdf yang sudah saya sertakan.

    Bagi pembaca yang sudah download pdf tulisan versi lama, saya sangat merekomendasikan Anda supaya download pdf tulisan versi baru ini. Anda bebas untuk menghapus atau tidak pdf tulisan versi lama tersebut, tapi jika Anda masih berniat untuk menyimpan versi lama, maka saya sarankan supaya pdf tulisan versi lama itu terpisah dengan pdf tulisan versi baru ini, dan sekedar memberi pernyataan bahwa informasi yang tidak ada di tulisan versi lama dan semua pendapat baru, termasuk pendapat terbaru penulis, ada di tulisan versi baru ini.

    Bagi pembaca yang sudah membagikan tulisan ini melalui website, weblog, forum, mailing list dan lain-lain, saya sangat mengharapkan Anda juga membagikan tulisan versi baru ini supaya para pembaca tulisan yang telah dibagikan oleh Anda mengetahui bahwa tulisan tersebut sudah mengalami banyak perubahan dan perbaikan sehingga menjadi suatu tulisan versi yang terbaru.

    p.s. oh ya, tulisan “satu umat Islam satu kalender Hijriyah” belum saya perbaharui dan tulisan itu yang ada di weblog ini adalah masih versi lama. Jadi pada tulisan itu masih mungkin ada pendapat/pernyataan yang bertentangan dengan pendapat/pernyataan yang ada pada tulisan “penentuan hilal dengan ru’yah dan hisab”. Mohon maklum.

    Terima kasih,

    Yusuf KS.

    Reply

  22. […] “penentuan hilal dengan ru’yah dan hisab” sudah diperbaharui menjadi versi […]

    Reply

  23. Posted by ansorrullah on November 7, 2010 at 9:01 pm

    ass. minta tlong penjelasan tentang kelebihan n kekurangan tentang rukyah global

    Reply

  24. @ansorrullah :

    wass.

    Berikut ini jawaban saya :

    * kekurangan ru’yah murni entah itu ru’yah global (satu ru’yah untuk semua negeri) atau ru’yah lokal (setiap negeri memiliki ru’yah masing-masing) maupun satu ru’yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan adalah : akan terjadi kesulitan yang sangat (jika tidak mau dikatakan sebagai hal yang mustahil) dalam pembuatan suatu kalender Hijriyah tahunan.

    * Kelebihan ru’yah global murni :
    1)Dengan menggunakan metode ru’yah ini maka kaum Muslimin di berbagai negeri memiliki peluang paling besar untuk dapat memiliki hari dan tanggal Hijriyah yang sama (persatuan/penyeragaman tanggal Hijriyah) berdasarkan ru’yah (dibandingkan metode ru’yah selain ru’yah global)

    2)Walaupun masih ada kemungkinan terjadi ketidaksamaan tanggal pada beberapa kasus, tapi selisihnya paling besar adalah satu hari saja tidak seperti metode ru’yah selain ru’yah global yang memiliki kemungkinan selisih lebih dari satu hari.

    * Kekurangan ru’yah global murni :
    1)Terkesan lebih merepotkan dibandingkan metode ru’yah yang lain karena harus menunggu informasi hilal dari berbagai negeri

    2)Akan terjadi ketidakpastian saat akhir dan awal bulan Qamariyah yang periode ketidakpastiannya dapat mencapai waktu yang cukup lama tergantung letak negeri tersebut, semakin timur semakin besar kemungkinan periode ketidakpastiannya.

    Contoh kasus :
    Pada sejak akhir hari di tanggal 29 bulan Sya`ban, kaum Muslimin dalam posisi ketidakpastian (apakah esok sudah tanggal 1 atau masih tanggal 30) sampai informasi hilal terlihat atau tidak terlihat diumumkan. Kaum Muslimin di Indonesia, Malaysia, dkk tidak ada yang berhasil melihat hilal pada saat itu, maka mereka berada dalam periode ketidakpastian, menunggu informasi hilal yang mungkin terlihat di negeri lain. Lalu ternyata Saudi berhasil melihat hilal pada jam 6 sore waktu setempat, maka Indonesia bagian barat akan mengetahuinya paling cepat jam 10malam, Indonesia bagian tengah jam 11 malam, sedangkan bagian timur jam 12 malam. Di Fiji yang termasuk negara di bagian paling timur dapat mengetahui informasi tersebut paling cepat jam 3 pagi.

    3)Pada beberapa kasus, yaitu pada penetapan awal bulan Ramadhan, hasil ru’yah global dapat menjadi sia-sia dan mustahil diterapkan di negeri yang mendapatkan informasi hilal pada waktu setelah terbit fajar.

    Contoh kasus :
    Sama seperti contoh kasus yang ada di atas dengan sedikit perbedaan : Dari negara-negara bagian timur hingga bagian timur tengah tidak ada yang berhasil melihat hilal, tapi Moroko berhasil melihat hilal pada jam 6 sore. Indonesia masih mungkin menerapkan hasil hilal ru’yah global ini karena paling cepat Indonesia bagian barat akan mengetahuinya jam 1 pagi, Indonesia bagian tengah jam 2 pagi, sedangkan bagian timur jam 3 pagi, tapi negara yang lebih timur dari Indonesia ada yang mustahil menerapkan hal itu, seperti Fiji yang dapat mengetahui informasi tersebut paling cepat jam 6 pagi, apalagi di Nuku’alofa yang dapat mengetahui informasi tersebut paling cepat jam 7 pagi.

    Itu baru contoh kasus jika hilal terlihat di negara yang memiliki GMT 0, bagaimana jika hilal baru dapat terlihat di negara yang lebih barat lagi, apalagi yang paling barat? Tentu lebih mustahil lagi.

    * Solusi untuk kekurangan ru’yah global :
    1.Untuk poin 1, solusinya adalah dengan mengoptimalisasikan penggunaan teknologi informasi untuk penyebaran informasi di berbagai negeri dan dengan meningkatkan kerja sama antar berbagai negeri.

    2.Untuk poin 2 dan 3, solusinya adalah dengan menambahkan kriteria “patokan mathla” atau “batasan mathla`”.

    3.Solusi untuk kekurangan ru’yah global murni secara umum adalah melepas metode ru’yah murni dan beralih ke metode ru’yah+hisab (menggunakan metode ru’yah global dan juga menggunakan metode hisab yang disepakati).

    Yusuf KS.

    p.s. Akh ansorrullah sedang menyusun skripsi yach? Semoga diberi kemudahan dalam penyusunan skripsi 😉 Dan sekedar mengingatkan, jangan lupa tentang adab menulis, termasuk ketika mengutip dan ketika menyebutkan referensi 😉

    Reply

  25. Artikel yang sangat bagus sekali, Pak. Banyak hal di sini yang baru saja saya ketahui, seperti ada tiga jenis rukyat. Terima kasih Pak atas tulisan yang sangat bagus ini. Saya sangat suka sekali tulisan yang mengedepankan intelektual daripada emosional. Dan tulisan ini sudah jadi favorit saya sejak membaca opini Pak Yusuf. Semoga ilmu yang sudah disebarkan di sini bermanfaat ya, Pak.

    Reply

  26. […] saya sudah membahas seluk beluk tentang ru’yah dan hisab di tulisan saya di weblog ini : https://myks.wordpress.com/2007/10/03/penentuan-hilal-dengan-ruyah-dan-hisab/ . Share this:ShareFacebookEmailPrintTwitterDiggRedditStumbleUponLike this:LikeBe the first to like […]

    Reply

  27. Posted by asep s muhtar on September 4, 2011 at 4:09 am

    Terima kasih atas tulisannya, semoga dapat menambah ilmu bagi saya dan mendapat pahala yang besar di sisi Allah SWT bagi penulis

    Reply

  28. Posted by milya on February 20, 2012 at 5:52 pm

    izin untuk di share ya, supaya banyak yang tahu ttg hal ini. tks

    Reply

  29. @milya:
    silakan 🙂 terima kasih kembali.

    Reply

  30. Saya bersetuju untuk hal ini yang dikemukakan Yusuf KS bahwa: “…Jika setiap pemimpin negeri Muslim, wakil ulama dan ahli hisab dari berbagai negeri berkumpul untuk membicarakan masalah ini, lalu memilih pendapat satu ru’yah untuk semua negeri dengan pertimbangan kesatuan umat Islam di seluruh dunia, lalu ditambah dengan dipakainya ilmu hisab yang dibantu dengan teknologi dan alat astronomi yang canggih pada zaman ini, Insya Allah, tidak akan ada istilah lagi umat Islam merayakan hari raya yang sama (Idul Fitri dan Idul Adha) dengan hari/tanggal yang berbeda…”

    dan dengan memperhatikan pertimbangan dari Albi Fitransyah bahwa: “.. Dilema yang muncul bila sistem hilal global dipergunakan sebagai acuan adalah pada awal dan akhir ibadah shaum, di bagian timur garis pergantian bulan umat Islam akan berpuasa sebelum waktunya (hilal penentu awal shaum belum ada). Bila awal shaum menunggu pengamat bagian barat dapat melihat hilal, berarti sebagian umat Islam di sebelah timur akan memulai puasa selepas fajar subuh bahkan setelah terbit matahari. Sebaliknya bisa terjadi sebagian Muslim di barat memulainya selepas fajar subuh sehari sebelumnya, bila hilal telah berhasil diamati di bagian timur garis tanggal…”

    karena kita sebisanya mengutamakan mufakat seluruh umat islam di Bumi sebagaimana hadist Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Janganlah kamu mempercepat awal bulan Ramadan walaupun hanya satu atau dua hari. Jika kamu telah sepakat dengan datangnya bulan itu, maka berpuasalah. Berpuasalah kamu ketika melihat hilal (awal bulan Ramadan). Berbukalah kamu ketika melihat hilal (awal bulan Syawal). Jika langit tertutup mendung dan kamu tidak melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan Ramadan (30 hari). Setelah itu berbukalah.”

    Kesepakatan atau mufakat sudah seharusnya dikembalikan di awal perdebatan, setelah perbedaan dalam metode2 baik hisab maupun ru’yah. Wallahualam.

    Reply

    • dan satu lagi, janganlah kita lupa dengan belahan bumi utara dan selatan yang kondisi terbit dan tenggelamnya matahari dan bulan mereka berbeda dengan yang tinggal di bumi belahan timur dan barat.

      Reply

  31. […] Bagi yang ingin mempelajari alasan masing-masing, lalu memilih pendapat yang paling kuat, saya sudah menulis suatu tulisan yang dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan Anda, yaitu : Penentuan Hilal dengan Ru’yah dan Hisab […]

    Reply

  32. Posted by Rois on July 19, 2012 at 10:17 pm

    yang paling enak kita serahkan keputusan pada hakim sebab ada makalah usul fiqh “keputusan hakim menghilangkan perbedaan pendapat suatu kaum (menyatukan) dalam hal ini adalah pemerintah”

    Reply

  33. Posted by Yusuf KS on July 20, 2012 at 6:37 pm

    @Rois : Lebih tepatnya itu adalah kaidah fiqh : قرار الحاكم ترفع الخلاف

    kaidah fiqh tersebut sudah masyhur, tapi penerapannya ada beberapa perbedaan pendapat. Ada yang memahaminya sebagaimana yang Anda pahami, jadi dalam hal ru’yah, keputusan pemerintah seharusnya menghilangkan perbedaan pendapat.

    Ada juga yang berpendapat : Pemerintah sekarang tidak layak dijadikan acuan/hakim untuk menghilangkan perbedaan pendapat, karena tidak memenuhi syarat kepemimpinan khalifah / tidak menerapkan syariat Islam, dan berbagai alasan lainnya.

    Ada juga yang berpendapat : Mengakui pemerintah, tetapi jika pemerintah mengizinkan berbeda pendapat dalam masalah penentuan hilal, maka lebih memilih pendapat yang paling kuat menurutnya meskipun berbeda dengan keputusan pemerintah.

    Dan berbagai perbedaan penafsiran lainnya. Maksud saya menyampaikan hal ini bahwa cukup banyak hal yang dijadikan suatu dalil/hujjah, tapi itu bisa dipahami dengan pemahaman yang berbeda-beda tergantung orang yang mengkaji dalil tersebut.

    Sebagai penutup, pendapat apapun yang bapak pilih, silakan saja, termasuk jika bapak berpendapat memilih mengikuti keputusan pemerintah. Setiap orang memiliki hak memilih pendapat yang diyakini paling kuat menurutnya, tanpa harus memaksakan/menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya.

    Terima kasih.

    Yusuf KS.

    Reply

  34. saya punya pertanyaan, Apakah
    melihat Hilal harus dilakukan pas
    magrib? bisakah dilakukan
    beberapa jam berikutnya
    mengingat puasa baru
    dilaksanakan esok hari? Apakah
    ada hadits atau apa yg
    menjelaskan tata cara ru’yah ini?

    Reply

  35. Posted by Yusuf KS on July 23, 2012 at 7:14 pm

    @Nurawal :

    Tentang hadits yang menjelaskan secara detil tata cara ru’yah sepengetahuan saya tidak ada, dan saya belum mendapatkannya.

    Mengenai apakah hilal harus dilakukan saat Maghrib, ini sudah saya jawab dalam penjelasan definisi hilal. Hilal adalah “bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam”. Waktu Hilal muncul dan terlihat berkisar antara 10-40 menit, setelah itu bulan terbenam.

    Jadi waktu melihat hilal memang sekitar Maghrib, karena waktu hilal muncul dan dapat terlihat relatif sebentar, yaitu sekitar 10-40 menit.

    Lalu harap diingat juga bahwa dalam awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib atau sejak matahari terbenam, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama fiqh. Jadi jika pada waktu sekitar maghrib hilal dapat terlihat, maka malam itu juga dan keesokan harinya sudah memasuki awal bulan baru Hijriyah.

    Demikian jawaban saya, semoga dapat dipahami.

    Yusuf KS.

    Reply

  36. You can definitely see your skills within the work you write.
    The sector hopes for even more passionate writers like you
    who aren’t afraid to say how they believe. At all times follow your heart.

    Reply

  37. kenapa soal hilal ini hanya utk menentukan ramadhan, idul fitri dan idul adha saja?

    Reply

    • Posted by Yusuf KS on July 15, 2015 at 4:00 pm

      jika ingin konsisten dengan ru’yah, seharusnya ru’yah hilal tidak hanya untuk 3 bulan saja.

      Reply

  38. Reblogged this on Makna Kehidupan.

    Reply

  39. mohon izin share / reblog. Mudah-mudahan membawa barokah.

    Reply

  40. Posted by qurrotuluyun on March 29, 2018 at 4:32 pm

    Adakah Peluang menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan.

    Reply

    • Posted by Yusuf KS on December 28, 2018 at 5:14 pm

      Peluang itu selalu ada, tinggal apakah masing-masing dari mereka mau untuk sama-sama berubah dalam menyepakati kriteria penentuan awal bulan.

      Reply

Leave a comment